Festival Film Indonesia (FFI) tahun 2016 siap digelar. Puncak acara FFI berupa pemberian penghargaan Piala Citra kepada insan perfilman Indonesia, akan berlangsung di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada November mendatang.
Rencana itu sudah diworo-woro oleh Panitia Pelaksana FFI 2016 yang dibentuk oleh pemerintah (Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) bekerjasama dengan Badan Perfilman Indonesia (BPI).
Ajang penghargaan film tertua di Indonesia ini dimulai tahun 1955. Awalnya FFI bernama Pekan Apresiasi Film Nasional (PAFN) diselenggarakan dan dibiayai sendiri oleh orang film. Maka sah, jika mereka mau mengklaim ajang tersebut adalah milik orang film thok!.
Meski PAFN milik orang film tapi tidak pernah dinyatakan dan, sambutan masyarakat begitu besar terhadap kegiatan yang menyebarkan semangat kecintaan pada film nasional. Aksi itu berlanjut bahkan sampai PAFN ditake-over oleh pemerintah melalui Departemen Penerangan (Deppen) tahun 1973.
Masyarakat film kala itu -- dan sampai sekarang -- tidak punya banyak uang untuk melanjutkan festival, sehingga pemerintah yang melihat potensi film sebagai media propaganda, bersedia membantu. Artinya, FFI tak lagi ekslusif milik orang film, karena dibiayai dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
FFI rutin digelar sejak 1973 sampai tahun 1992. Tahun-tahun berikutnya FFI tidak dilaksanakan, karena produksi film lokal menurun tajam.
Tahun 2004 FFI hadir lagi setelah libur panjang 12 tahun. Kementerian yang membidangi film waktu itu adalah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Di ujung pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri inilah, masyarakat film – dikoordinir Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) -- mendapatkan hak previlage; diundang Presiden beraudiensi ke Istana Negara.
Ketika BP2N habis masa dinasnya tahun 2009 dan memasuki transisi sampai 2013, pelaksanaan FFI berganti-ganti dilakukan oleh dua kelompok kekuatan ‘tua’ dan ‘muda’ perfilman. Benturan dua kelompok ini sangat keras, bahkan berimbas ke hasil akhir FFI. Panitia tertentu memenangkan film yang relatif ‘ngeklik’ dengan kelompoknya.
Rebutan proyek FFI ini terhenti ketika BPI hadir dan dianggap paling sah dan berwenang sebagai pelaksana FFI. Maka sebagai pemenang proyek, BPI seperti kalap ketika melakukan perombakan konsep FFI.
Sistem penjurian lama FFI digusur sejak 2014 demi mengembalikan marwah FFI. Juri yang sebelumnya tak sampai 50 orang dan terdiri dari berbagai disiplin ilmu, menjadi 100 orang dari kalangan orang film sendiri.
Sayangnya, sampai tahun ketiga FFI dibawah BPI justru semakin kehilangan kontrol. Jumlah 100 juri tidak pernah terpublikasi, bahkan di dalam website yang dibuat oleh panitia FFI sekalipun. Proses penilaian pun tak terpantau. Berlangsung diam-diam, tanpa diskusi dan perdebatan layaknya sebuah ajang penilaian. Atau bahkan mungkin, ada juri yang tidak bekerja tapi menerima honornya.