Lihat ke Halaman Asli

teguh imam suryadi

Penikmat kopi gilingan sampai sachetan

Pulau Bokori Menggoda Mata, Membakar Jiwa

Diperbarui: 27 Juni 2016   00:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Dokumen Pribadi


Satu dari beberapa pulau kecil di Kendari, Sulawesi Tenggara ini menawarkan keindahan. Namanya Pulau Bokori. Ketika mendengar namanya untuk pertamakali tanggal 26 Mei 2016, saya mengira Bokori adalah nama seorang laki-laki, semisal Bukhori atau sejenisnya.

Ternyata saya salah. Sebutan nama pulau ini berasal dari bahasa Suku Bajo -- yang sempat bermukim selama puluhan tahun di sana. Asal katanya "boko" yang artinya penyu. Mungkin, dulunya banyak hewan laut penyu di kawasan seluas 18 hektar tersebut.

Kedatangan saya ke Pulau Bokori tanpa perencanaan matang. Kunjungan itu semacam inspeksi mendadak, menghabiskan sisa waktu di hari terakhir saya meliput acara sosialisai Lembaga Sensor Film (LSF) tentang "Sensor Mandiri" di Kota Kendari.

Saya terutama kami, mengatur waktu untuk menikmati spot kawasan wisata terdekat dari kota Kendari. Soal waktu ini harus kami perhitungkan, agar tidak terlambat naik pesawat dari Bandara Haluoleo ke Jakarta, pukul 15.00 WIB.

Singkat kata, pagi-pagi pukul 08.00 WIB dari tempat hotel kami menginap, sopir mengajak ke Pulau Bokori yang berjarak tempuh sekitar satu jam sampai ke Pantai Nipah. Dari pantai ini kami lanjutkan perjalanan dengan menyewa perahu motor berkapasitas angkut penumpang 20 orang. Harga sewa untuk sekali berangkat-pulang Rp25.000 per orang. Praktis, perjalanan ke Pulau Bokori ditempuh maksimal 1,5 jam.

Hanya perlu setengah jam perjalanan dari Pantai Nipah ke Pulau Bokori. Sebelum berangkat, sebaiknya siapkan keperluan untuk 'acara' di Pulau Bokori. Hal ini dilakukan tim kami yang sempat membeli beberapa kilo ikan sebelum sampai di Pantai Nipah.

Udara sejuk bebas polusi, langit hari itu biru terang berawan. Laut yang bersih dan biru membawa suasana hati mengharu-biru. Tempat ini sangat layak dijadikan kawasan wisata pantai. Namun, sejak resmi dibuka dan dikelola oleh Pemda setempat di tahun 2014, masih terjadi perbaikan di sana.

Foto Dokumen Pribadi

Ketika saya nyemplung di pantai yang jernih tembus pandang ke dasar laut, rasanya tak ingin lekas-lekas naik ke darat. Ingin rasanya berlama-lama berendam jika tak ada panggilan untuk segera makan siang. Panitia sudah membakar ikan dan saya harus 'menyelesaikan secara adat'. Makan ikan bakar menghadap birunya laut, hmmm.. yummy. Bahkan Monas di Jakarta sampai tak terlihat..

Dengan keterbatasan waktu, saya tidak sempat mengeksplorasi garis pantai yang melingkari pulau, yang pernah dihuni Suku Bajo, Bugis dan Makassar. Menurut seorang guide kami, Pak Bidu, Pulau Bokori pernah dihuni tiga suku yang terbagi dalam 6 wilayah selama puluhan tahun.

Karena pulau ini relatif kecil, maka ketika jumlah penduduknya terus bertambah, di tahun 1970an pemerintah memindahkan seluruh penduduknya ke seberang pulau. Seluruh penghuni Pulau Bokori dipindahkan dengan kompensasi setiap kepala keluarga mendapatkan rumah.

Foto Dokumen Pribadi


Perkembangan jumlah penduduk di tempat baru di seberang Pulau Bokori (disebut Bokori daratan) pun meningkat. Jika saat dipindah hanya dibagi menjadi tiga desa, saat ini sudah melebar menjadi 6 desa.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline