Lihat ke Halaman Asli

Ketika Jurnalis Terseret Infotainment

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Pasca reformasi 1998, media menemukan kebebasannya. Seakan ingin membuktikan diri para penggiat dunia penerbitan dan perusahaan media massa semakin hari semakin menjamur pada masa itu. Tak terkecuali media infotainmen pun ikut bermunculan.

Padahal kala itu hampir seluruh kalangan Jurnalis idealis sangat berkeberatan dengan masuknya kalangan pekerja infotainment atau hiburan menyebut diri mereka jurnalis dan hasil liputan "gosip" nya juga sebagai bagian karya jurnalistik. Namun toh lagi-lagi pasar/market untuk mereka tiap hari semakin menguat, sehingga karya jurnalistik dengan karya infotaimen berada didalam zona abu-abu alias tersamarkan.

Satu dekade kemudian berlalu. Secara perlahan namun pasti, kondisi yang dihadapi oleh para pekerja jurnalistik menjadi terbalik. Bak makan buah simalakama, kalangan infotainment sepertinya telah berhasil mempengaruhi frame jurnalistik yang berada diotak masyarakat Indonesia pencinta televisi.

Bahkan hal tersebut dijadikan patokan oleh para pemimpin redaksi dimasing-masing stasiun televisi. Dimana pemberitaan (hard news) yang pada awalnya murni fakta dan data, perlahan dibawanya berubah jadi gosip dan isu dalam setiap penyajian beritanya.

Memberitakan gosip dan isu atau menginfotainmenkan peristiwa seolah menjadi hiburan belaka. Salah satu cirinya adalah berita mencari-cari kesalahan orang lain lalu menjadikannya hiburan pemberitaan. Seolah-olah mereka mempunyai hak justifikasi yang menyebutkan orang tersebut salah dan benar dimata publik.

Salah satu fakta media dapat kita lihat adalah sekitar kasus -kasus korupsi, atau terkait dengan politik. Apakah pentingnya bagi sebuah media memberitakan siapa teman wanitanya , berapa jumlah istrinya, sampai dia sedang dekat dengan siapa dan makanan apa yang dimakan dipenjara. Sampai kemudian soal jam tangan merek apa dipakai politisi, sampai gaya hidup yang cenderung pada usaha memberikan stigma negatif.

Padahal masyarakat tidak butuh informasi yang semacam itu, namun karena media dalam posisi ini memiliki kekuatan agent of change menyebabkan terjadinya pola perubahan penerimaan berita yang ada didalam media. Seolah-olah berita tersebut sangat penting untuk dipublikasi dan diketahui oleh orang banyak. Mereka tidak memikirkan dampak dari pemberitaan mereka terhadap keluarga atau kerabat orang yang diberitakannya.

Coba bandingkan dengan pemberitaan awal reformasi, fakta-fakta dikeluarkan begitu kuat dan faktual. Sama seperti usaha media mengungkapkan kejahatan pasca orde baru dan berbagai kasus kemanusiaan. Terpisah antara fakta dan opini dan tidak ada unsur infotainmentnya. Tidak seperti saat ini, ketika para jurnalis muda lebih senang memainkan sisi infotaiment dibandingkan sisi fakta dan opini dalam setiap beritanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline