Pasca pandemi Covid-19, perekonomian Provinsi Bengkulu mulai bangkit. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), usai terkontraksi minus 0,02 persen pada tahun 2020, ekonomi Provinsi Bengkulu menggeliat pada 3,27 persen di tahun 2021, dan di tahun 2022 kembali tumbuh 4,31 persen. Kondisi ini tentu memberikan optimisme bahwa perekonomian akan segera pulih kembali.
Optimisme pemulihan ekonomi bukan hal yang berlebihan. Rilis BPS juga menyebutkan, dari 17 sektor ekonomi, 15 sektor mengalami pertumbuhan positif, sementara hanya dua sektor yang tumbuh negatif. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor transpotasi dan pergudangan yang tumbuh 13,45 persen. Ini menunjukkan arus distribusi barang dan jasa semakin meningkat serta memberikan ganbaran bahwa ekonomi Provinsi Bengkulu semakin terbuka.
Namun perekonomian yang bertumbuh juga melahirkan pertanyaan lain. Apakah pertumbuhannya bersifat eksklusif yang hanya dinikmati oleh segelintir orang, atau bersifat inklusif, yang mendorong pemerataan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
Menurut Bappenas, pertumbuhan ekonomi disebut inklusif jika mampu menciptakan akses dan kesempatan yang luas bagi seluruh lapisan masyarakat secara berkeadilan, meningkatkan kesejahteraan, serta mengurangi kesenjangan antar kelompok dan wilayah. Karena itu, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi ekonomi inklusif harus disertai turunnya angka kemiskinan, turunnya angka ketimpangan distribusi pendapatan, dan menekan angka pengangguran.
Dilihat dari tiga indikator penyerta tersebut, perekonomian Provinsi Bengkulu tahun 2022 boleh dikatakan tumbuh inklusif. Hal tersebut bisa dilihat dari ukuran berikut : angka kemiskinan menurun dari 14,43 menjadi 14,34 persen; tingkat ketimpangan yang dinyatakan melalui Gini Ratio menurun dari 0,321 menjadi 0,315 poin, dan angka pengangguran menurun dari 6,49 menjadi 5,86 persen. Artinya pertumbuhan ekonomi Provinsi Bengkulu telah berhasil menurunkan angka kemiskinan, mengurangi kesenjangan, dan meningkatkan lapangan kerja.
Namun jika ditelaah lebih dalam, masih banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah Provinsi Bengkulu untuk menjadikan pertumbuhan ekonomi menjadi lebih inklusif.
Sebagai contoh, meskipun secara persentase angka kemiskinan menurun, tetapi jumlah absolutnya justru meningkat dari 291,79 ribu orang (tahun 2021) menjadi 292,34 ribu orang (tahun 2022) atau bertambah 1,14 ribu orang.
Kenaikan jumlah penduduk miskin tersebut terjadi baik di wilayah perkotaan maupun wilayah perdesaan. Selain itu, penurunan angka kemiskinan juga belum mampu mengangkat Provinsi Bengkulu dari posisi kedua termiskin se Sumatera.
Dari sisi ketimpangan, berdasarkan ukuran Bank Dunia, distribusi pengeluaran pada kelompok 40 persen terbawah adalah 21,62 persen, atau ketimpangan rendah. Namun jika dilihat per wilayah, wilayah perkotaan lebih timpang daripada wilayah perdesaan.
Angka ketimpangan di wilayah perkotaan tercatat 19,05 persen (ketimpangan sedang), dan di pedesaan angka ketimpangan tercatat 23,81 persen (ketimpangan rendah).
Sementara dari sisi angka pengangguran wilayah perkotaan tercatat tercatat memiliki angka pengangguran lebih tinggi (7,74 persen) dibandingkan wilayah perdesaan (3,43 persen).