Lihat ke Halaman Asli

Teguh Adi

berpikirlah maka akan hidup

Batik: antara Budaya, Ekonomi dan Lingkungan

Diperbarui: 4 Oktober 2017   15:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tanggal 2 Oktober diperingati sebagai hari batik nasional, perjuangan panjang diperlukan pemerintah untuk mendapatkan pengakuan Internasional dari UNESCO yang membidangi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan setelah sebelumnya sempat di claim oleh negara tetangga sebagai kebudayaan asli mereka. Meskipun sejak lama mantan presiden kita Pak Harto mengenalkan batik ke dunia internasional dengan lebih sering mengenakan batik daripada menggunakan Jas atau setelan internasional  ternyata tidak serta merta membuat negara lain sadar dan menghargai kebudayaan kita. 

Dengan di tetapkannya tanggal 2 Oktober diperingati sebagai hari batik Nasional, memang suatu hal yang membanggakan bagi negara negara kita namun hal ini juga sekaligus menjadi alarm bagi kita untuk senantiasa menjaga budaya kita agar tidak kembali di claim oleh negara lain dan mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Seperti yang kita ketahui bahwa setelah penetapan tanggal 2 Oktober sebagai hari batik nasional maka batik yang sebelumnya dianggap kuno karena lebih banyak digunakan oleh orang yang sudah berumur maka setelah ada penetapan hari batik nasional, 

banyak masyarakat yang tidak ragu untuk mengenakan batik dalam berbagai kesempatan dan berbeda dengan sebelumnya tidak hanya orang yang berumur yang menggunakan batik. Kini tua muda, laki-laki, perempuan banyak menggunakan batik namun yang kemudian menjadi keprihatinan adalah tidak semua batik yang mereka gunakan adalah batik Indonesia. semakin maraknya batik digunakan oleh masyarakat ternyata tidak serta merta membuat perekonomian pengrajin batik nasional meningkat karena kian maraknya batik print dari negara lain.

Maraknya batik print dari negara lain apabila tidak segera ditindak lanjuti maka akan berdampak pada matinya batik nasional baik secara nilai budaya maupun nilai ekonomis. Secara nilai budaya batik print akan mematikan batik nasional yang memiliki ciri khas batik tulis dan cap dimana proses untuk pembuatan batik tulis maupun cap membutuhkan waktu yang panjang karena harus melewati berbagai proses dan proses inilah yang memiliki unsur nilai budaya karena tidak hanya sekedar print saja sebagaimana banyak batik asing beredar di pasaran. 

Dari segi nilai ekonomis sangat jelas keberadaan batik Print dari asing juga akan mematikan industri batik nasional, seperti yang tadi sebutkan bahwa batik nasional memiliki kecenderungan proses pembuatan yang lama akan diperbandingkan dengan batik asing dengan metode print yang waktu pembuatannya relatif lebih singkat. Dengan perbedaan waktu proses pembuatan antara batik lokal dengan batik asing, membuat perbedaan dalam hal ketersediaan batik di pasaran dimana batik dengan metode print ini bisa saja dipasaran jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan batik lokal dengan proses panjang. 

Disinilah kemudian hukum ekonomi bekerja dimana penawaran yang melimpah akan dapat berpengaruh terhadap harga jual suatu produk, apalagi jika produk dengan penawaran melimpah ini juga dijual dengan harga rendah. Bukan suatu hal yang mustahil jika kemudian banyak pengrajin batik yang akan gulung tikar karena kalah saing dengan batik print import karena dari segi harga produk mereka yang handmade dibandingkan dengan produksi mesin yang mungkin saja sekali cetak bisa puluhan meter kain.

Hal ini perlu benar-benar dicermati oleh para pembuat kebijakan untuk dapat melindungi produksi kain batik kita yang tidak hanya memiliki nilai budaya akan tetapi juga memiliki nilai ekonomis. Tentunya untuk menyikapi hal ini pemerintah tidak bisa melakukannya sendiri tapi perlu peran aktif dari asosiasi pengusaha atau pengrajin batik untuk dapat terus berinovasi agar tidak kalah dengan batik asing dalam segala hal.

Selain permasalahan budaya dan ekonomi, batik tidak bisa dilepaskan dari isu pencemaran lingkungan dimana industri batik turut menyumbang pencemaran lingkungan disekitar industri batik tersebut berada. Masalah pencemaran lingkungan menjadi masalahan yang klasik dalam industri batik dimana kita dapat mengamati dengan mudah terjadinya pencaemaran lingkungan khususnya Sungai didaerah dimana pengrajin batik berada. Sebut saja seperti di Kota Pekalongan dimana kota ini disebut sebagai pusat kota batik, kondisi sungai di kota ini sangat memperihatinkan dimana air yang mengalir warnanya berubah-ubah mengikuti warna kain yang sedang dikerjakan oleh mayoritas pengrajin. 

Masalah pencemaran mutlak menjadi masalah serius yang perlu segera menjadi perhatian dari berbagai pihak sebagaimana permasalahan membanjirnya batik produksi asing yang dapat mematikan denyut perekonomian dan nilai budaya bangsa. Permasalahan pencemaran lingkungan menurut pendapat saya, banyak terjadi karena mayoritas pengrajin batik merupakan pengusaha home industry yang tidak memiliki pengetahuan yang mumpuni terkait pengolahan limbah batik, untuk itu butuh peran serta akademisi atau aktifis lingkungan atau siapa saja yang memiliki pengetahuan lebih dibidang pengolahan limbah.

 Dengan informasi tambahan yang mereka dapatkan maka selanjutnya mereka akan berusaha untuk menguranggi atau mungkin sama sekali menghilangkan limbah yang tadinya dibuang ke sungai atau tempat lain yang mencemari lingkungan. Kalupun ternyata permasalahan limbah itu muncul bukan karena mereka tidak mengetahui cara pengelolahan limbah melainkan disebabkan oleh hal lain maka hal itu perlu segera dicari akar permasalahannya untuk sesegera mungkin diatasi karena saya yakin para pengrajin atau pengusaha batik tidak mempunyai niatan untuk mencemari lingkungan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline