[caption caption="Perempuan kendeng"][/caption]Ranjang kayu kecil di tata berjajar, kanan dan kiri di kedua sisi tembok. Sembilan orang perempuan, terbaring di atas kasur tipis berselimut kain di atas ranjang di Kantor LBH Jakarta itu. Kaki mereka berselonjoran lunglai, kain jarik membalutnya. (foto: JMPPK)
Beberapa bagian di telapak kaki sembilan perempuan itu nampak memutih, berkeriput.
Wajah mereka yang kendati terlihat lelah namun bersinar. Sembilan Perempuan itu adalah Supini, Surani, Riem Ambarwati, Deni, Ngadinah, Sukinah, Karsupi, Murtini dan Surani. Sembilan perempuan warga pegunungan Kendheng di Pati, Jawa tengah yang mengecor kaki mereka dengan semen sebagai aksi menolak pendirian pabrik semen di wilayah mereka. Sudah tiga hari sejak Senin (11/4/2016) mereka di Jakarta menjalankan aksi protes tersebut. Pada Selasa (12/4/2016) siang di depan Istana Negara, 9 perempuan itu menampar penghuni Istana Negara dengan ‘menanam' kaki mereka di kotak berisi semen.
Lamat-lamat terdengar tembang Ibu pertiwi dari bibir Murtini, Ibu pertiwi/ Paring boga lan sandhang/ Kang murakabi/ Peparing rejeki/ Manungsa kang bekti/ Ibu Pertiwi/ Ibu Pertiwi/ Kang adil luhuring budi/ Ayo sungkem mring/ Ibu Pertiwi // Suara Murtini, terdengar lembut.
Bibirnya tersenyum saat penulis mendekat. Tangan kami berjabat erat, ia menanyakan dari mana asal penulis.
“Mas dari mana, tadi datang ke Istana geh?” tanya Murtini. Penulis menggeleng, karena siang tadi memang tidak hadir di Istana meliput aksi mereka.
Seakan sudah kenal lama, dengan bahasa daerah kepada penulis Murtini berkisah tentang lahan Sawah di kampungnya Pati, yang berlokasi di kawasan karst Kendeng, Jawa Tengah. Pada musim labuhan ia menanam padi, jika musim katiga ia menanam palawija atau buah.
Bagi Murtini bertani adalah nadi kehidupan mereka. Bertani membutuhkan tanah, membutuhkan air sebagai salah satu unsur yang sangat penting guna mengolah lahan. Selain itu petani juga menggunakan hewan ternak (sapi) untuk membantu dalam pengelolaan lahan. Ini adalah sebuah hubungan timbal balik yang telah ada dan turun temurun antara warga dan pegunungan karst Kendheng.
Namun kini hubungan timbal balik tersebut terancam dengan adanya rencana pendirian pabrik semen. Pendirian pabrik semen yang dilakukan oleh PT Sahabat Mulia Sakti (PT SMS), anak perusahaan Indocement. Pabrik itu menggali perut bumi dan memporak-porandakan mata air di tanah karst yang selama ini mereka jaga.
[caption caption="di tenda inilah mereka tinggal selama lebih dari 668 hari (foto: JMPPK)"]
[/caption]Dalam web Oemahkendeng.com dituturkan bahwa Kendeng merupakan pegunungan khas purba dan pegunungan yang melahirkan peradaban jawa “Ha, na, ca, ra, ka”. Adanya peninggalan Dampo Awang di Kecamatan Tambakromo, penemuan candi kuno di Kecamatan Kayen, Makam para sunan dan situs pewayangan di Kecamatan Sukolilo. Itu semua menjadi deretan bukti kekayaan Arkeologi khususnya di Kendeng Utara.
Menurut kajian Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), CAT Watuputih mampu menyuplai air sebanyak 51 juta liter per hari dari 109 mata air. Dari debit sebesar itu, 10 persennya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan warga di 14 kecamatan, dan sisanya untuk pengairan sawah. Tak heran bila pada tahun 2011, lahir Keputusan Presiden tentang penetapan Cekungan Air Tanah di mana CAT Watuputih termasuk kategori B yang wajib dilindungi.
Maka tak heran bila kemudian pemerintah Provinsi Jawa Tengah memberi lampu hijau kepada investasi semen di wilayahnya. Sebagian besar memanfaatkan barisan pegunungan Kendeng yang menyimpan deposit batu gamping dan membentang di enam kabupaten: Rembang, Pati, Kudus, Jepara, Blora, dan Grobogan.