Lihat ke Halaman Asli

Cara sederhana menjawab pertanyaan remaja tentang cita-cita

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

 

Begini ceritanya….

Awalnya peristiwa ini terjadi pada hari sabtu, 28 Agustus 2010 di sebuah Madrasah Aliyah Negeri di kota Probolinggo Jatim…Seperti biasa pasca asesmen psikologi, sekolah selalu memberikan waktu khusus kepada saya untuk mengoceh di kelas memberikan cerita tentang bagaimana mambaca laporan asesmen (Psikotes) dengan mudah dan benar dalam kaitannya dengan persiapan mereka memilih jurusan di kelas XI.

 

Pada saat itu waktu yg diberikan sekolah kepada saya relatif longgar sehingga tidak terasa di satu kelas saja saya bisa bercerita di depan mereka dalam waktu 90 menit nonstop. Selama bercerita suasana bisa berubah-ubah mulai dari serius, tertawa-tawa bahkan hingga saling ledek antar murid karena cerita konyol yg disampaikan…Saya menikmati setiap situasi, bahkan saya termasuk orang yg percaya bahwa jaim di depan murid itu ga perlu. Saya kadang bernyanyi atau bahkan melakukan gerakan-gerakan aneh untuk mendukung atau memperkuat cerita atau penjelasan saya terhadap sesuatu. Justru dari situlah mereka menaruh respek terhadap apapun yang kita diskusikan (mulai dari hasil tes hingga urusan pacarJ)

 

Di bagian akhir penjelasan saya di kelas (kira-kira10 menit menjelang bubar), seorang murid laki-laki yang duduk di pojok belakang bagian kiri membuat “kericuhan”dengan mengganggu teman-teman di sekelilingnya. Sebenarnya perilaku ini sudah teramati sejak menit-menit awal. Tapi karena saya menganggap masih dalam taraf wajar, saya biarkan saja. Di saat-saat akhir inilah saya mulai merasa bahwa perilaku anak ini mengganggu. Tanpa berpikir panjang saya panggil dia ke depan. Sebelumnya atau di awal kita sudah memiliki kesepakatan bersama, bila ada yang ribut maka hukumannya adalah menyanyikan sebuah lagu untuk teman-temannya di kelas.

 

Saya berpikir, “Ah, mungkin anak ini ingin sekali menunjukkan kemampuan bernyanyinya di depan kawan-kawannya tapi malu mengungkapkan.” Sejurus kemudian dia berdiri di depan. Dia tidak bersedia bernyanyi, namun karena terus didesak kawan-kawannya akhirnya keluar juga suaranya. Meski demikian suaranya ga jelas, malahan menurut saya lebih mirip orang mengomel…*dengan menggunakan bahasa madura*... Setelah hampir 2 menit berlalu dia tetap melakukan hal yg sama. Saya tidak memaksanya untuk terus bernyanyi, kemudian saya persilahkan saja dia untuk kembali ke tempat duduknya.

 

Kebetulan, bagian akhir dari penjelasan saya adalah tentang cita-cita. Saya memulai cerita ini dengan bertanya kepada anak laki-laki yang baru saja berdiri di depan kelas. ”Anda tahu lelaki sejati itu seperti apa?”. Dia menjawab, “ngga tau pak.” Kemudian saya bertanya kepada murid perempuan di kelas, ”kalian mau tahu seperti apa lelaki sejati yang layak menjadi pendamping kalian nanti?” tanpa dikomando mereka menjawab,”Maaauuuuuu...”

 

Saya kemudian memulai bercerita....

Tiga tahun lalu saya pergi naik sepeda motor bersama seorang teman menempuh jarak > 140 km dari Malang ke Situbondo untuk menunaikan tugas yang sama seperti yang saya lakukan di depan anda. 30 km sebelum tiba di tempat tujuan, kami berhenti sejenak mampir di kediaman salah seorang guru yang pada hari kedua jadual kami di Situbondo sekolah mereka akan melaksanakan program follow up pasca asesmen. Setelah setengah jam berbincang sambil makan rawon dan teh hangat, kami berdua memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke kota Situbondo.

 

Kira-kira setengah kilometer dari kediaman guru tersebut tepatnya di jembatan Lubawang-Besuki atau sekitar 10 menit menjelang maghrib terjadilah peristiwa bersejarah dalam hidup saya. Saat itu saya mengendarai motor melaju dengan kecepatan antara 70-80 km/jam. Ketika motor masuk jembatan lubawang, kira-kira dalam jarak pandang 20 meter, tiba-tiba dari arah utara atau kiri jalan muncullah seorang anak usia SMP membonceng seorang anak usia SD kelas 4 dengan motor memotong jalan. Dalam waktu kurang dari 2 detik saya mengambil keputusan sangat penting. Bila ke kiri sangat mungkin saya, teman dan motor akan tercebur  ke sungai yang lumayan tinggi jaraknya dengan jembatan. Bila lurus artinya menabrak pengendara motor dan sangat mungkin mengakibatkan cedera parah, cacat seumur hidup atau bahkan meninggal dunia. Bila ke kanan juga tidak ringan, sudah tersedia gundukan tanah en kerikil ditambah posisi badan jalan yang landai memungkinkan kita jatuh berguling ke bawah dan akan ditangkap oleh semak belukar dan pepohonan kecil.

 

Apalah daya, berhubung ini adalah siaran langsung dan tidak ada ”stuntman” maka pilihan terakhir adalah yg paling masuk akal. DuuuuuuaaarrrRRR!!!, tabrakanpun tak terelakkan.

 

Persis bagian depan motor lawan dan motor saya bertumbukan. Saya berguling hingga 10 meter ke arah depan sedangkan motor bersama teman yang saya bonceng “terbang” di atas saya terlempar 5 meter lebih jauh dari jarak saya terhenti dalam gulingan. Telapak tangan bagian kiri terluka, siku juga demikian. Darah pun terus mengalir. Lutut kaki kiri saya sobek bersamaan dengan sobeknya celana selebar 20 cm. Alhamdulillah kepala selamat, demikian juga dengan dada karena tertutup tas ransel. Namun cerita gelapnya ternyata kaki saya bagian kiri tidak bisa digerakkan sama sekali, untuk bisa berdiri harus dibantu oleh penduduk setempat.

 

Singkat cerita, keesokan harinya (hari selasa) saya ditelpon Kepala Sekolah salah satu sekolah yang akan mendapatkan giliran jadual program follow up pada hari rabu. Beliau sudah mengetahui tentang musibah yang kami berdua alami dari salah seorang muridnya yang kebetulan pada sore hari ketika kecelakaan menyaksikan secara langsung. Beliau menawarkan untuk membatalkan saja acara tersebut dan guru-guru bisa sangat memaklumi kondisi kami berdua. Namun kami berdua menolak. Kami minta harinya ditangguhkan 1 hari saja dengan asumsi keadaan saya mungkin bisa menjadi lebih baik. Lalu beliau menawarkan untuk menjemput kami karena memang jarak tempat kami tinggal dengan sekolah sekitar 30 km, sedangkan motor saya masih di bengkel.

 

Namun kami juga menolak dan berterima kasih atas kepeduliannya, kami tak ingin merepotkan sekolah. Keesokan harinya kami berdua memutuskan naik bis menuju sekolah. Saya hanya menggunakan celana seadanya (celana jeans) dan sandal. Celana kain sudah sobek, pun demikian dengan sepatu. Dengan berjalan tertatih-tatih saya menuju kelas dan menuntaskan semua kewajiban sepanjang 4 jam nonstop.

Demikianlah ceritanya....

 

Saya mengatakan kepada murid-murid di kelas bahwa saya memiliki beragam alasan untuk tidak datang ke sekolah karena musibah yang kami berdua alami tapi hal itu tidak saya lakukan, mengapa? Karena hadir di hadapan anda semua, berbagi ilmu dan pengalaman adalah bagian dari IMPIAN saya. Bahwa terkadang dalam hidup kita merasa terluka, terancam bahkan mungkin kehilangan apa yang kita cintai namun tak sekalipun itu menghentikan diri kita dari apa yang kita impikan, memang demikianlah adanya.

 

Bila kita hanya berani bicara di belakang, tidak bersedia berbicara di depan sebagai panutan tidak ada bedanya kita yang duduk sambil membuka buku di ruang kelas ini dengan mereka yang duduk-duduk di pinggir jalan tidak sekolah dan suka minum-minum hingga mabok.

 

Saya juga katakan kepada murid-murid di kelas bahwa lelaki sejati tidak berhenti berjalan hanya gara-gara ada diantara orang-orang di sekeliling kita yang tidak suka, tidak sependapat dan bahkan menolak apa yang berharga bagi kita dan sedang kita perjuangkan. Dan bila anda perempuan dan anda memang layak diperjuangkan olehnya, niscaya dia tidak akan berhenti atau bahkan memutuskan tali silaturahim dengan anda dan keluarga anda sekalipun sebelumnya dia telah menempuh jarak  ribuan kilometer dan kemudian hanya mendapati orang tua anda mengatakan ”tidak” kepadanya.

 

Orang lain bisa mengambil apapun yang kita miliki; harta kekayaan kita, status sosial kita dan bahkan orang-orang yang kita sayangi. Namun tak sekalipun mereka bisa mengambil apa yang kita cintai disini... *sambil tangan menunjuk ke arah dahi dan dada*.

 

Itulah kalimat terakhir saya di kelas. Murid-murid di kelas terdiam, suasana kelas menjadi hening lalu sejurus kemudian murid perempuan bertepuk tangan dan murid laki-laki semuanya mengacungkan kedua jempol tangan mereka ke arah saya.

 

Saya berpikir, mereka telah mengerti demikianlah cita-cita DIPERJUANGKAN dan bukan sekedar DIDEFINISIKAN...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline