Lihat ke Halaman Asli

Abdul Rahman

Jurnalis dan penulis

Cerpen | Pencuri Tanpa Tangan

Diperbarui: 8 November 2019   17:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tidak seperti biasa, pada pagi  itu,   Balai Desa kampungku  ramai dijejali  orang. Mereka  datang dari berbagai dusun. Seperti tak mau ketinggalan berita, mereka banyak yang terpaksa meninggalkan pekerjaan hanya demi datang ke Balai Desa tersebut.

Sudah menjadi kebijakan para tetua adat. Di kampung itu, jika ada masalah hukum, tidak langsung diajukan ke meja hijau. Tapi dilakukan musyawarah. Dirembug bersama-sama. Sekiranya bisa diselesaikan secara kekeluargaan, maka itu yang  ditempuh.

Semangat yang selalu dipegang oleh para tetua adat, bahwa seluruh kampung itu bersaudara. Dulu saat kampung itu masih berupa hutan belukar, maka orang yang pertama membuka hutan tersebut sehingga menjadi kampung, tak lain  dua keluarga yang mempunyai hubungan saudara.

 Kemudian anak keturunan mereka saling menikah sehingga beranak-pinak dan terbentuk menjadi sebuah kampung. Ketika antar keluarga timbul persoalan, maka mereka yang dituakanlah yang menyelesaikan masalah itu.

Dan mereka harus melihat persoalan  dengan obyektif dan bijaksana. Sebab semua adalah anak-anaknya yang semua harus dibela. Mempunyai hak dan kewajiban sama di mata hukum.    

Mereka mempunyai pertimbangan yang sangat masuk akal. Hukum menurut para tetua adat di kampung itu adalah untuk melindungi masyarakat.  Agar setiap anggota masyarakat merasa mendapat keadilan. Pernah pada suatu hari ada salah seorang warga kedapatan mencuri pohon pisang.

 Oleh pemilik pohon pisang itu tidak lantas dilaporkan ke polisi. Tapi ke tetua adat. Para tetua adat lalu berembug menyelidiki kenapa sampai ada orang mencuri buah pisang dari pohonnya.  Dari hasil investigasi  ternyata orang tersebut mencuri karena terpaksa.  Di rumahnya tidak ada beras. Murni untuk makan. 

Tetua adat memutuskan para warga diminta untuk patungan. Uang yang terkumpul itu sebagian diberikan kepada pemilik pisang sebagai ganti kerugian. Sebagian lagi diberikan kepada pelaku agar tidak mencuri lagi. Tapi sebagai pelajaran, pelaku diganjar kerja bakti selama tiga bulan.  Kerja bakti mebersihkan fasilitas umum. Seperti jalan, dan rumah ibadah. 

Nah dengan adanya hukuman seperti ini, pelaku merasa jera dan malu. Masyarakat begitu peduli atas nasib warga lain. Warga pun juga merasa tersindir, sampai tidak tahu kalau ada tetangga yang tak bisa makan sehingga sampai  mengambil milik orang lain.

Dengan cara seperti ini, relatif ampuh. Pelaku benar-benar tidak mau mengulangi lagi. Akan berbeda jika dibawa ke ranah hukum. Inti dari hukum adalah selain untuk mencari keadilan juga ada pendidikan moral di sana.

Bayangkan saja, andai kasus pidana pencurian buah pisang dari pohonnya dibawa ke meja hijau, tentu persoalan akan menjadi rumit dan menjadi besar.  Negara harus mengeluarkan uang  untuk biaya sidang. Setelah selesai putusan, negara juga harus menanggung biaya hidup beberapa tahun selama pelaku dipenjara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline