Siang yang Gerah
Seorang lelaki gagah datang ke sekolah. Ia hendak mengadukan perundungan yang menimpa anak gadisnya. Tak sekadar mengadu, si ayah juga melancarkan tuntutan: sang pelaku harus dikeluarkan! Sangar: pecat!
Beruntung, ia gagal bertemu dengan panglima sekolah. Sang Jenderal tengah mengikuti kegiatan dinas di luar. Hanya dua deputinya yang menerima sang tamu. Sebenarnya, sang Jenderal pun sekadar panglima pocokan. Kedudukan resminya sama dengan kedua tandemnya: deputi. Panglima yang asli sedang cuti untuk keperluan ibadah.
Kepalang tanggung. Waktu dan tenaga sudah dikorbankan. Sayang kalau niat tak jadi terlaksana. Tak ada rotan, rumput pun boleh.
"Bla ... bla ... bla ...!" tutur si tamu, bak orang kalap, "Bapak-bapak tentu tahu, ini sudah keterlaluan! Pelanggaran berat! Menyangkut etika! Ranahnya moral! Ini yang namanya "pagar makan tanaman"! Kalau pimpinan tidak bisa memecat dia, saya bisa memecatnya!"
Demi menyaksikan aura kemarahan yang memuncak, keduanya pucat pasi. Badan mereka gemetar. Bibir mereka terkatup rapat. Lidah mereka mendadak kelu. Blangkemen.
"Tapi, maaf, Bapak. Tuan Jenderal sedang tidak ada di kantor," jawab salah seorang dari keduanya. Terbata-bata, "Kami tidak punya wewenang untuk memutuskan masalah ini."
"Kalau Bapak tidak berkeberatan," sahut seorang yang lain, "saya catat dulu aduan Bapak. Nanti kami sampaikan kepada Pak Jenderal sekembalinya ke Sekolah."
Apa boleh buat! Si Bapak pun beranjak meninggalkan Sekolah. Kecewa, mungkin. Mendongkol, barangkali. Mau bagaimana lagi? Jawaban kedua deputi itu benar belaka adanya. Pilihan mereka sesuai dengan prosedur standar manajemen dalam bidang apa pun di belahan dunia mana pun.
***
Menjelang Sore