Panas dan tegangnya gelanggang kehidupan berbangsa dan bernegara di sepanjang tahun perpolitikan nasional 2019 melahirkan sebuah ketakutan yang mencekam di tengah masyarakat Indonesia. Ancaman ujaran kebencian yang terus berkobar atas nama persaingan kontestan sudah mengarah dan membawa masyarakat ke jurang perpecahan. Isu-isu yang timbul seakan tiada habis. Saling serang-menyerang, tuduh-menuduh tiada ujung inilah yang membuat keresahan masyarakat nyata dirasakan.
Salah satu isu yang beredar dan seakan menjadi ancaman bagi sebagian besar masyarakat adalah adanya kepentingan 'mengganti idoelogi' yang sengaja direncanakan dan diselipkan pada basis kekuatan salah satu kontestan. Trauma masyarakat mengenai tragedi yang mengancam kedaulatan Pancasila sebagai ideologi negara belum juga hilang sepenuhnya. Ancaman semakin ketara ketika pemerintah di bawah kendali Presiden Joko Widodo dengan tegas menolak dan melawan salah satu kelompok yang dengan tegas mengkampanyekan ideologi Khilafah Islamiyah sebagai pengganti Pancasila yang selama ini ada dengan melarang dan membubarkan Hisbut Tahrir Indonesia, menengok beberapa tahun yang lalu.
Menarik ketika mengilas balik eksistensi Pancasila pada sepanjang sejarang bangsa serta bagaimana umat islam sebagai kelompok mayoritas memandang dan memposisikan Pancasila.
Nadlatul Ulama yang merupakan ormas islam terbesar di Indonesia dengan anggotanya yang melebihi 90 juta jiwa sangatlah pantas dijadikan representasi umat islam di Indonesia. Nahdlatul Ulama atau NU sudah menegaskan jauh-jauh hari sebelum polemik ini sendiri lahir bahwa Indonesia bukanlah negara agama meski agama tidak dapat dipisahkan dari negara seutuhnya seperti pada negara-negara sekuler pada umumnya, serta Pancasila merupakan satu-satunya ideologi yang dapat diterima oleh semua kalangan masyarakat Indonesia yang sangat heterogen.
Sejarah pernah mencatat, di era Orde Baru ketika rezim Soeharto menerapkan keputusan asas tunggal Pancasila yang mewajibkan seluruh organisasi di Indonesia untuk menjadikan Pancasila sebagai asas atau dasar landasan organisasinya melalui UU Republik Indonesia No. 8/1985 mendapat banyak penolakan dari sebagaian masyarakat termasuk umat islam Indonesia. Namun berbeda dengan NU, justru sebelum UU tentang organisasi kemasyarakatan ini disahkan DPR, NU secara resmi menerima Pancasila sebagai asas organisasinya lewat pertemuan para ulama seniornya di Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Sukorejo, Situbondo pada tahun 1983. Bahkan disahkan secara formal pada muktamarnya di tempat yang sama tahun 1984.
Seperti yang digagas KH. Ahmad Shidiq selaku Rais 'Am PBNU pada saat itu, merujuk pada kitab suci Al-Quran surah Ali Imran ayat 64, NU memandang Pancasila sebagai Kalimatun Sawa atau titik temu dalam bahasa Indonesia. Pancasila diyakini mampu mempertemukan dan menyatukan seluruh elemen masyarakat Indonesia yang berlatar pluralistik. KH. Ahmad Shidiq menganalogikan Pancasila yang digunakan sebagai dasar dan ideologi negara selama 40 tahun -- pada saat itu -- sebagai buah yang sudah biasa bahkan setiap hari menjadi makanan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia, mempertanyakan terkat halal-haram hukumnya terdengar aneh dan tidak logis. Bertolak dari pemikiran logika hukum seperti itulah, KH. Ahmad Shidiq berfatwa bahwa secara substansi dan esensi, Pancasila dapat diterima sebagai satu-satunya asas dalam tatanan kultur dan strukur masyarakat Indonesia.
Bahkan KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai tokoh senior NU menegaskan bahwa persoalan Pancasila sudah keputusan final, agama tidak bisa lagi mempertanyakan dan menggantikan posisi dan legalitas Pancasila sebagai dasar ideologi negara Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H