Lihat ke Halaman Asli

Situt Saputro

Mahasiswa

Salim Si Merah

Diperbarui: 25 Maret 2020   01:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semarang, Februari 1930

Di tengah musim hujan melanda sebagian besar Pulau Jawa, Semarang yang merupakan salah satu kota besar, Kota Administrasi Hindia Belanda di Jawa Tengah juga merasakan bagaimana lebat, dingin, serta sejuknya suasana -- Eropa tak akan mungkin pernah merasakannya. 

Ramainya alun-alun kota, pasar yang tak kunjung sepi, begitu pula jalanan Simpang Lima masih ramai lalu lalang kendaraan para bangsawan Belanda ataupun priyayi sekali-kali diselipi kereta kuda masyarakat tanpa sandangan -- Cuma bercelana pendek dan berikat kepala -- atau jika lebih beruntung kau akan menemui mereka berpakaian lusuh tanpa wibawa. 

Tapi itulah keadaan yang sebenar-benarnya sebagian besar penduduk Pulau Jawa. Penduduk sebuah hamparan tanah yang kaya, tetapi setiap bangun dari tidurnya takut kelaparan menghantuinya.

Bertahun-tahun Semarang menjadi selayak penjara, kota yang seharusnya indah dan ramah ini seakan momok yang menakutkan bagi pemerintah Hindia Belanda -- Paska Upaya Revolusi Prambanan 1926 oleh Partai Komunis Indonesia -- distribusi surat kabar dibatasi.

Informasi dari luar kota disaring lebih ketat lagi, terlebih siaran radio begitu diawasi untuk mencegah siaran propaganda berbau provokasi yang akan memicu semangat revolusi, belum lagi ratusan pasukan Intel yang menyebar luas, mulai dari pusat kota hingga di jalanan pelosok desa.

Karena kita semua tahu Semarang bukanlah sembarang kota, Semarang merupakan basis terkuat para kaum pergerakan, terlebih merupakan kantong massa Sarekat Islam Merah yang dewasa kini lebih dikenal dengan sebutan Partai Komunis Indonesia. Satu-satunya organisasi pergerakan yang gencar menyuarakan semangat revolusi perlawanan dan kemerdekaan.

Di tengah tekanan kehidupan Semarang yang begitu represif, berawal dari kepergiannya meninggalkan desa untuk mengais pundi-pundi kehidupan, dia seorang remaja, berkulit kecoklatan, berperawakan pendek, tidak pernah mengenal bangku sekolah -- karena dia besar dari kalangan petani -- yang haram mengenyam dunia pendidikan bagi pemerintah Hindia Belanda. 

Salim namanya. Seorang buruh muda di Stasiun Poncol Semarang, bekerja untuk perusahaan Kereta Api milik pemerintah Hindia Belanda.

-

Salim. Bocah tengil yang suka mencuri makanan pegawai Belanda. Sebuah kalimat jawaban yang akan kau terima ketika kau menanyakan identitasnya pada kebanyakan buruh di stasiun Poncol Semarang. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline