Tahun 1999, menjadi satu fase perkembangan musik spektakuler khususnya dunia musik underground. Berawal dari kota kecil bernama Kota Cimahi, siapa kira musik underground mampu berjaya dan merajalela memengaruhi sisi-sisi kreativitas anak muda saat itu. Ratusan nama grup band berseliweran, memamerkan aliran-aliran bermusik mereka. Mulai dari jenis aliran hardcore, punk, death metal, ska, grindcore, melodic core, trash metal dan sederet nama aliran lainnya dari genre musik metal.
Saya sangat hafal dengan nama-nama aliran musik cadas itu. Selain karena marak, saya sering juga mengemas mereka, para pemilik band, untuk tampil dalam event-event lokal tingkat Kota Cimahi. Saya tentunya tidak berdiri sendiri. Ada nama-nama motor penggerak musik metal di Kota Cimahi yang saat itu bersatu dalam wadah Insan Seni Satu Bumi (ISSB). Tahu siapa orang yang dituakan di dalam kelompok itu. Saya menyebutnya Ibu Erni. Seniman rupa yang memiliki nama lengkap Lies Erni O. Siregar. Sosok ibu yang energik, jago lukis, pandai membuat event dan professional mengemas pentas-pentas seni selain musik. Maklum, ibu ini jebolan kursus event tertama milik Adi Subono sang promotor pentas-pentas hebat di tanah air.
Nama-nama lain "penganjur" aliran musik metal juga banyak di Kelompok ISSB ini, tetapi saya sebut hanya Ibu Erni saja, yang lain mengikuti. Walau jarang disebutkan nama-namanya, semua sepakat untuk berkiprah di dunia pagelaran musik underground bersama band-band yang hidup saat itu. Kumpulan ISSB sangat solid pada saat itu dan mereka sangat menjunjung solidaritas sebagai ikatan utama dalam kelompok.
Hidup bak satu keluarga besar yang rata-rata mereka dicap gila oleh banyak orang. Namun kegilaannya masih dalam batas wajar sadar kesehatan jiwa. Gilanya meraka, karena terlalu banyak memikirkan bagaimana caranya event-event underground bisa digelar kapan pun, sementara larangan tampil untuk gelaran musik keras itu sedang massif di tempat-tempat lain.
Tak tanggung-tanggung, walau dilarang tampil, sempat-sempatnya kelompok ISSB ini menggandeng tentara menjadi mitra dengan cara bekerjasama pemanfaatan gedung-gedung pertemuan milik TNI menjadi lapangan "pogo" (istilah gaya audiens underground saat menonton pentas) yang selalu nampak terlihat "brutal".
Beberapa event sangat aman dilaksanakan. Berbagai band musik metal mengisi panggung bergantian dalam beberapa festival. Tidak dilombakan, tapi hadir sebagai parade bersama penyuka musik-musik keras. Promosi yang amat sederhana, kerap dilakukan antar band bersama panitia penyelenggara parade. Media yang seadanya, memakai kertas photokopian dengan tulisan famplet menggambil dari guntingan huruf-huruf kertas Koran.
Meski promosi sederhana, acara selalu sukses digelar. Saat itu para pencinta metal percaya, solidaritas menjadi kunci kesuksesan semuanya. Masing-masing pihak terkait bahu membahu menyebar info event ke seluruh pelosok kota. Main sesuai giliran, tidak ada audiensi. Setiap band main suka-suka dan gaya masing-masing dan tetap memperhatikan giliran band lain tampil.
Rumput halaman gedung event selalu penuh oleh mereka para penonton dan pemain band. Ada yang istirahat, ada pula yang santai-santai menunggu giliran main. Sound system, jangan Tanya, berisik minta ampun. Tetapi semua enjoy.
Berada di area parkiran, penonton dan pemain band yang akan tampil, semua bersatu. Tak ada yang membedakan kehadiran meraka di tengah-tengah event. "Artis" atau penonton terjalin dalam solidaritas yang kuat.
Hari demi hari, Kota Cimahi yang rajin menggelar parade metal. Rupanya kegilaan itu sudah mengusik band-band sohor dan sponsor-sponsor event musik berdatangan. Kota tentara itu semakin dibanjiri acara-acara besar. Masih, lokasi punya TNI semacam salah satunya lapangan Brigif Kujang, menjadi pilihan gelaran acara.