Sejak ribuan tahun silam, kecantikan dan ketampanan selalu menjadi incaran orang untuk dimiliki.
Berbagai peragaan cara dikreasi bagaimana seharusnya bersolek agar harapan tampan dan tampil cantik itu mutlak menjadi milik kita. Digagas berkali-kali sejalan dengan tuntutan trend serta perubahan jamannya.
Nusantara sangat kaya dengan gaya berias para penduduknya, terlebih keragaman budaya dan adat serta kondisi geografis begitu kuat memengaruhi tampilan fisik dan mental penghuni bumi khatulistiwa ini. Otomatis, cara menata kecantikan menjadi berbeda satu sama lain.
Disamping cara berias, bersamaan dengan itu pun tercipta pula berbagai bahan dan alat pendukung untuk perawatan badan, kulit, rambut, kuku, muka atau wajah hingga bagian tubuh lainnya yang bisa mewakili hadirnya citra "molek" atau "seksi".
Legenda raja atau ratu pada jaman pemerintahan model lama, selalu beriringan dengan predikat cantik atau tampan para pemegang tampuk kekuasaannya.
Keunggulan cara dan tradisi berdandan pun terus terwariskan kepada generasi setelahnya selama berabad-abad.
Kita kagum dengan kecantikan Nusantara ini. Semua itu tergambar dalam keelokan busananya, cantik luar dalam, harmoni pilihan sumber-sumber bahan riasan dan patut dibanggakan bahwa daya cipta "tata salira" (penataan diri) nusantara menjadi khas warna dunia.
Kecantikan ala Nusantara dari masa ke masa berstandar khusus. Tentunya, semua dapat berubah akibat datangnya pengaruh dan bertambahnya pengetahuan masyarakat.
Dalam tradisi Jawa misalnya, bagaimana cantik itu tergambarkan? Titib (1998) dalam ketiknews.id/kecantikan/amp/pr-3012054373/Asal-Muasal-Standardisasi-Kecantikan-Wanita-di-Indonesia menyebutkan bahwa cantik pada masa itu digambarkan melalui tokoh Sinta, istri Rama.
Sinta digambarkan sebagai perempuan muda yang sungguh cantik dan berperilaku baik. Ia bercahaya laksana rembulan. Rembulan digambarkan sebagai kecantikan kulit perempuan yang bercahaya.