Menyajikan lagi tampilan "kaulinan barudak" atau permainan anak-anak tradisional dalam rangkaian acara Kemah Literasi Forum Taman Bacaan Masyarakat (Forum TBM) Provinsi Jawa Barat, menggugah sejumlah ingatan tentang keceriaan masa kecil dulu.
Rasa gembira terpaut bersama air muka dan gerak atraktif hingga balutan nyanyian lirik-lirik pujangga terdahulu, menghidupkan pemahaman akan kekuatan makna-makna.
Lirik-lirik permainan anak yang dinyanyikan itu, dulu begitu akrab dalam pendengaran anak-anak Sunda bahkan hingga kini. Lirik-lirik permainan anak itu ada diantaranya, "Jaleuleuja", "Punten Mangga", "Cing Cangkeling", "Oray-orayan" hingga "Ayang-ayanggung".
Bagi yang sudah mengenal, sepintas lirik-lirik itu sangat sederhana, namun siapa sangka jika deretan lirik-lirik nyanyian permainan anak itu sarat makna.
Selain kandungan maknanya yang kuat, lirik-lirik itu terlahir sejak ratusan tahun silam, namun mampu bertahan hingga bergenerasi-generasi.
Kita sebut lirik Cing Cangkeling. Barisan lirik tersebut yaitu, //Cing cangkeling manuk cingkleung cineten// //Blos kakolong Bapa Satar Buleneng//
Lirik Cing Cangkeling, kita peroleh bagian uraian pemahaman maknanya dari pernyataan seorang Budayawan Sunda, Husin M. Al-Banjari, di Bandung beberapa waktu lalu bahwa lirik Cing Cangkeling lahir dari karya cipta seorang Raja Pajajaran yaitu Prabu Surawisesa.
Prabu Surawisesa saat membuat lirik itu, ia merekam suatu kejadian yang cukup tragis, menggambarkan keadaan kepemimpinan dalam kerajaan yang dipimpinnya.
Uraian artinya seperti ini, Cing cangkeling manuk cingkleng cineten, artinya yaitu seekor burung yang hebat dan gagah berani (manuk cingkleung), namun kondisinya hanya diam saja (cineten).
Blos ka kolong (masuk ke kolong), Bapak Satar buleneng (tak memiliki hasrat).