Yang Tak Tersampaikan Sinta
Tangan dingin Amar tak sanggup lagi menahan kepergian Sinta dari bandara Dubai. Sebuah pesawat Air India Express telah siap memberangkatkan wanita pujaanya pulang terlebih dahulu. Meskipun sempat terucap janji bahwa Sinta akan senantiasa menunggu setibanya Amar di Mangalore di India Selatan, setelah segala macam aktivitas studinya selesai, tetap saja rasa khawatir itu ada dalam diri Amar. “Aku akan baik-baik saja di rumah, doakan aku selamat di perjalanan, ya, sayang! Sinta begitu lirih membisikan kata terakhir sebelum kepergiannya siang itu. “Ya, aku akan segera menyusul!”Amar menjawabnya bersama senyum dan lambaian tangan yang tak henti-hentinya dia kibaskan sampai dengan pesawat yang membawa Sinta benar-benar tak nampak lagi dalam pandangan matanya.
Sebetulnya Amar merasa sangat berkeberatan Sinta pulang lebih cepat dari waktu yang sudah mereka jadwalkan bersama. Studi Sinta memang sudah rampung, tetapi setidaknya Sinta masih bisa tinggal di Dubai karena Amar masih sangat memerlukan bantuan Sinta untuk menyelesaikan serangkaian tugas akhir sebelum ujian sidang skripsinya minggu depan. Namun desakan orang tua Sinta agar Sinta segera pulang tak bisa dihalanginya. “Ya, sudahlah, semua aku selesaikan sendiri tugas-tugas akhir kuliahku. Oh, Tuhan, dengan siapa lagi saya berbagi?” kata Amar dalam hati. Amar bergegas meninggalkan bandara memburu waktu agar segera tiba di apartement sewaannya di Dubai.
Didalam pesawat, Sinta tak henti-hentinya berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan yang terjadi saat nanti tiba di rumah. Sebetulnya sudah sejak lama Sinta tahu tentang alasan dibalik desakan keinginan orang tuanya agar Sinta segera pulang. Namun dia tak sanggup jika harus menceritakannya kepada Amar karena khawatir akan mengganggu konsentrasi penyelesaian tugas akhir kuliah Amar. Orang tua sinta sudah sejak lama ingin agar Sinta segera menikah dengan laki-laki yang berasal dari sebuah keluarga kenalan orang tuanya. Calon suami yang akan disodorkan orang tuanya betul-betul belum Sinta kenal sama sekali. Namun apa boleh buat, sedikitnya Sinta memang sudah paham tentang tradisi yang dianut keluarganya saat ini. Ketika muncul keinginan orang tua untuk segera menikahkan anak gadisnya, maka tak ada pihak yang dapat menghalanginya walau itu datang dari dalam keluarga sekalipun.
Sinta tidak mau di sebut sebagai anak yang melawan terhadap orang tua. Tetapi rupanya asupan pengetahuan selama di bangku perkuliahan telah banyak membuka jalan berpikirnya untuk melakukan penolakan terhadap ketetapan tradisi yang dianut orang tuanya itu. Selama didalam pesawat itu Sinta terus mengumpulkan siasat dan mencari cara agar bisa lepas dari jeratan tradisi namun tidak membuat hati orang tuanya luka. Catatan-catatan kecil dia susun dengan cermat, mekipun tidak secara detail, namun Sinta secara yakin telah menemukan jalan keluar terbaiknya. Dia lakukan itu karena Sinta sudah terlanjur mencintai Amar. Sinta tidak akan menghianati Amar dalam keadaan apapun. Saat ini Amar adalah laki-laki pilihan untuk melangsungkan kehidupan bersama. Semua hal tentang rasa cintanya sudah dia tumpahkan dalam catatan hariannya sampai dengan terakhir saat ada dalam perjalan pulang itu. Sinta berjanji segala hal mengenai cinta dalam dirinya kepada Amar yang sudah banyak dia tuliskan dalam buku hariannya itu akan menjadi hadiah istimewa pada saat hari yang tepat untuk memberikannya tiba.
Sinta menghela nafas panjang saat sebuah pemandangan yang dia lihat dari balik kaca pesawat begitu nampak indah. Bersama laju pesawat itu, mata Sinta dapat menangkap adanya pemandangan yang mengagumkan dibawah sana. Sebuah pemandangan yang memberi tanda bahwa perjalalan pulangnya akan segera berakhir. Jarak tempuh peawat kearah Bandara di Mangalore semakin dekat dan informasi itupun secara jelas telah dapat didengar dari informasi seorang pramugari dalam pesawat itu. Namun nampaknya jarak yang sudah dekat menuju bandara belum dapat menjamin pesawat tiba dengan selamat. Cerita benar-benar sudah berganti. Semua penumpang dan isi pesawat merasakan ada keganjilan dengan badan pesawat. Pesawat yang dikemudikan pilot Zlatko Glusica mendadak menukik sebelum waktunya. Jerit penumpang dalam pesawat langsung membahana. Sinta dan penumpang lainnya tak mampu berbuat apa-apa. Pesawat nahas itu menabrak sebuah puncak bukit dan kemudian terjatuh di dalam jurang.
Dikabarkan oleh surat kabar Hindustan Times, kecelakaan ini membuat 158 penumpang tewas seketika dan hanya 8 orang selamat. “Kecelakaan tersebut berawal dari sang pilot berkewarganegaraan Serbia, tertidur hampir setengah perjalanan dan terbangun dalam kondisi kehilangan orientasi, tepat saat pesawat akan mendarat. Sang Pilot itu juga disebutkan bereaksi sangat lamban ketika membawa pesawat mendarat di Bandar Udara Mangalore. Berdasarkan hasil investigasi rekaman data penerbangan dan rekaman suara kokpit yang ditemukan di lokasi kecelakaan, Glusica, yang memiliki 10.200 jam terbang, diketahui menderita sleep inertia setelah tidur sebentar dan kehilangan orientasi saat pesawat mulai turun. Karena itu, reaksi Glusica sangat lamban dan tidak mengikuti prosedur penerbangan standar saat mendarat.” Tulis surat kabar itu.
Setelah waktu berselang lama, di Dubai, Amar hanya dapat memeluk buku harian Sinta yang saat evakuasi kecelakaan bangkai pesawat dapat ditemukan petugas bersama puing-puing hancurnya pesawat dan korban kecelakaan lain pada Mei 2010 lalu. Amar begitu terpukul dengan semua kejadian itu. Pupus sudah harapan. Dia tidak menyangka jika perjalananan pulang Sinta dari Dubai adalah perjalanan akhir hidupnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H