Lihat ke Halaman Asli

Teguh Ari Prianto

TERVERIFIKASI

-

Lupa, Apa Agamaku Sekarang! (50k)

Diperbarui: 6 Juli 2015   10:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Keringat yang terus menerus menetes perlahan itu lama-lama bertambah banyak. Beberapa bagian kain bajuku menjadi basah dibuatnya. Maklumlah udara dalam ruangan terasa begitu panas, belum lagi badanku yang tak bisa diam dan terus bergerak-gerak mengikuti alunan irama musik. Hingar bingar didalam ruangan, itu sudah pasti, aroma minuman beralkohol turut pula meramaikan suasana. Baju yang kukenakan ini seblumnya sangat tertata rapi terutama saat tadi aku berangkat dari rumah. Seperti biasa wewangian tak ketinggalan ku kenakan yang terbaik. Aku lakukan itu semua tak lain adalah untuk menarik perhatian orang sebanyak mungkin. Bajuku memang tidak mahal, apalagi minyak wangi itu, semua aku beli dengan sisa uang yang aku dapat. karena sebagian besarnya telah habis ku kirimkan ke kampung halaman.

Tetapi sekarang bajuku nampak kusut dimana-mana. Rambut yang tergerai ini pun tak ada bedanya. Aku berkumpul dalam kerumunan orang yang seolah sedang berperasaan sama, bahagia, dalam gemerlap malam menjelang pagi. Tak dapat ku hitung lagi berapa orang yang sudah menyapaku, bahkan tangan-tangan jahil mereka sudah begitu mudahnya mendarat di beberapa bagian tubuhku, bahkan yang mendaratkannya di bagian sensitive pun ada. Sebetulnya aku sangat marah pada tangan-tangan jahil mereka. Tetapi apa boleh buat, tindakan konyol bila aku harus memarahi mereka. Marah berarti akan mengubah suasana, dan pasti aku akan menjadi sasaran makian banyak orang.

Pernah aku pun meraskan sedih karena begitu keterlauannya tingkah laku orang-orang bertangan jahil itu. Tubuh ini tak ubahnya seperti boneka plastik yang bisa begitu saja mereka jamah tanpa lagi memedulikan perasaan yang ada dalam diri. Aku pun pernah ingin berbuat sesuatu kepada mereka dengan memberikan hukuman setimpal sebagai pelajaran atas ketidakwajaran ulah tangan-tangan mereka, bahkan aku pernah berpikir bagaimana dapat membunuh mereka semua. Namun kekesalan itu aku pendam, dan anehnya semua dapat pudar begitu saja ketika keriuhan pesta itu bubar pada saat pagi menjelang.

Dengan langkah agak limbung, karena sedikit agak mabuk, aku berniat pulang menuju kamar kontrakanku. Tempatnya cukup jauh juga dari tempat dimana saat ini aku berjalan. Keinginanku pagi ini adalah dapat sesegera mungkin tiba ditempat tidur. rasa lelah dan kantuk begitu kuatnya menyerang. Sesekali aku terdiam di pinggir jalan menghentikan laju langkahku. Saat ku hitung-hitung sudah ada sediktnya lima mobil menyalakan klakson yang pasti itu ditujukan kearahku. Aku sendiri berharap ada orang yang mau menawari aku tumpangan pulang. Tetapi mereka hanya melaju saja dan bunyi klakson yang mereka nyalakan dari mobilnya itu tak lain hanya untuk menggodaku saja. “Taksi..taksi…!” seorang sopir taksi menawariku jasa mobinya. Aku hanya melambaikan tangan tanda tidak akan menggunakan jasa taksi itu. Kemudian sopir taksi itu memacu lagi kendaraannya menjauh dariku. Sebetulnya aku memang sangat membutuhkan jasa taksi malam itu. Tetapi aku berpikir berapa uang yang harus aku keluarkan untuk membayar taksi. Uangku tak akan cukup untuk membayarnya. Kecuali ada kendaraan umum lain yang menuju tempatku pulang pasti aku akan menaikinya.

Terus saja aku susuri jalan sepi itu.Berjalan lambat menuju tempat diamana kendaraan angkutan umum yang melintas ketempat aku pulang, biasa mangkal. Karena tengah menahan kantuk, tak sadar ada lampu sebuah sebuah mobil berjalan lambat di belakangku. Aku mengira mobil itu menepi untuk parkir, tetapi ternyata mobil itu terus mengikutiku. Mobil kemudian berhenti beberapa langkah dari dekatku. Dua orang lelaki turun dari samping pintu mobil. Dengan cepat mereka berdua berdiri menghadang dan menghentikan langkahku. Aku sangat kaget saat itu. Namun rasa lelahku yang membuat aku tak bertingkah banyak. “Maaf, bisa tunjukan identitas anda?” Tanya salah seorang lelaki itu. Aku bingung saat ditanyai seperti itu. Aku tak menjawab apa-apa. Aku hanya memberikan tas kecil yang biasa kubawa. Entah apa saja isi tas kecil itu, yang jelas kartu identitas yang lelaki itu tanyakan pasti tak akan mereka temukan didalam tas itu karena memang aku tidak memilikinya sudah sejak lama. Dibiarkannya seorang lelaki temannya sipenanya tadi menggeledah isi tas kecil itu. Ternyata benar, lelaki itu tak bisa mengetahui siapa aku saat itu. “Anda tidak punya kartu identitas? Sekarang ikut ke kantor untuk pemeriksaan!” tak lama dari itu, badanku yang sedari tadi berdiri diatas trotoar kini sudah beralih ke atas jok belakang sebuah mobil minibus. Aku betul-betul baru sadar ketika melihat ram besi dalam mobil itu memisahkan aku dan dua orang lelaki yang menangkapku serta dua orang lelaki lain yang duduk dibalik kemudi dan disebelah kemudi. Ini mobil patroli kepolisian yang memang biasa melakukan tugasnya setiap malam. Tetapi rasa kantukku tak dapat ditahan. Setelah aku tahu akau sedang dalam mobil patroli kepolisian, lantas aku sandarkan badanku pada sandaran jok mobil itu lalu tertidur.

Sebuah tangan yang dingin memegang pergelangan tanganku. Dengan sedikit mengguncang badangku dia berkata, “bangun…bangun, ayo turun! Sambil tangannya agak menarik keluar badanku yang belum pulih ingatannya karena habis terlelap tidur. Aku tak tahu sedang dimana saat itu aku berada. Lelaki yang sedari tadi terus memegang pergelangan tanganku, sekarang memindahkan tangannya ke atas pundakku dan badannya tepat berada dibelakangku dengan gerakannya yang terus mendorong aku supaya terus melangkah memasuki sebuah ruangan. Sebuah ruangan tanpa satu pun kursi atau perabotan lainnya. Tetapi disana sudah berkumpul banyak orang yang duduk melantai, sebagian yang lain ada yang mondar-mandir berjalan didalam ruangan. Aku dimasukan kedalam ruangan itu disatukan dengan orang-orang yang terjaring dalam operasi malam kepolisian dengan berbagai kasus yag berbeda. Hampir semua mata orang-orang yang ada di ruangan itu memburu kearahku saat seorang petugas kepolisian mengantarkanku masuk ke dalam ruangan itu. Aku tahu mereka menyimpan sejuta tanya kepadaku walau tak ada satu pun yang tersampaikan pagi itu. Aku seperti halnya mereka sedang sama-sama menunggu bergiliran untuk mendapatkan pemeriksaan pihak Kepolisian.

Tiba giliranku mendapatkan pemeriksaan pihak kepolisian. Aku sebutkan semua keterangan yang polisi butuhkan tentang diriku nama, tempat tanggal lahir dan sejumlah keterangan lain tentangku. Polisi mencatat semua keterangan tentang diriku dalam komputer dimeja pemeriksaan. Polisi yang sedari tadi nampak serius, menoleh keheranan ketika sebuah pertanyaan yang dia ajukan tak lekas-lekas kujawab. Polisi itu menghentikan aktivitas mengetiknya, kemudian mengarahkan wajahnya kearahku. Kali ini dengan nada sedikit merendah, dia menanyakan sesuatu sekali lagi kepadaku, “agamanya apa?” aku tertegun dengan pertanyaan itu. Sebuah pertanyaan yang sudah lama sekali tidak kudengar. Aku sedikit bingung menjawab, karena aku sendiri tidak yakin jika harus menyebutkan satu nama agama agar dapat mengisidaftar isian pemeriksaanku. Aku sendiri tidak lagi yakin kalau aku masih memeluk suatu agama. Kehidupanku sudah sejak lama jauh dari keberadaan agama dan Tuhan. Mengingat agama atau Tuhan adalah pekerjaan sia-sia saja jika itu dilakukan. Belum lagi, masa laluku saat tinggal di kampung halaman dulu yang terus dijejali berbagai macam doktrin agama. Kampung halamanku adalah sebuah perkampungan miskin, pada saat itu sudah banyak orang datang dari berbagai kelompok agama menawari warga kampungku untuk memeluk agama-agama yang mereka bawa. Menurutku saat itu, agama menjadi tidak penting lagi karena yang diharapkan para penduduk kampung adalah bingkisan-bingkisan yang mereka bawa untuk menyambung hidup. Setiap kali ada orang yang menawarkan aku masuk suatu agama asalkan orang yang menawarkan agama itu membawa sesuatu agar aku bisa makan dan bertahan hidup, pasti aku akan mengikuti tawaran masuk agama itu. Lama aku tertegun dihadapan polisi itu sampai akhirnya aku berkata kepada polisi itu, “ maaf, Pak, apa penting saya menjawab apa agama saya dalam pemeriksaan ini? saya sudah lupa, apa agama saya!”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline