Lihat ke Halaman Asli

Teguh Ari Prianto

TERVERIFIKASI

-

Buku Harian Dulu

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ada kawan memberikan saran supaya saya menuliskan perjalanan hidup saya dan istri saya yang sedang hamil, "bikin buku harian, lah!" Katanya. Soalnya itu akan sangat mengasyikan untuk dibaca dikemudian hari. Memang ada benarnya, buku harian bisa membius saya, me-refrash saya dikemudian hari. Adakalanya saya seolah-olah bisa dibawa ke waktu lain entah itu ke kehidupan depan atau ke kehidupan belakang dimana saat ini saya berada.

Buku harian adalah tempat yang jujur bagi saya untuk dapat bercerita. Dalam kesendirian saya dimanjakan untuk berbuat apa saja, menuangkan apa saja tentang sesuatu yang bisa didokumentasikan dalam sebuah buku catatan tersebut. Adakalanya gambar-gambar -disamping tulisan- bisa menjadi bagian dari rekam jejak perjalanan hidup itu. Buku harian juga mampu membantu melonggarkan urat syaraf pikiran saya ketika kepala saya terlalu penat memikirkan berbagai hal sehingga kemampuan otak untuk menyelesaikan atau mengurai masalah menjadi tidak lebih baik.

Saya memang tertarik dengan buku harian. Dulu Itu pekerjaan rutin saya setiap harinya. Tanpa berpikir apakah ada waktu senggang atau pun padat, mengisi buku harian sudah menjadi kegiatan wajib bagi saya. Namun seiring berjalannya waktu, kebiasaan menulis dibuku harian itu telah memudar. Sebelumnya dilewatkan satu hari, dua hari, satu minggu hingga sudah bertahun-tahun saya meninggalkan kebiasaan menulis buku harian. Saya berpikir tak lagi menarik menulis buku harian. Alasan saya, saya merasakan begitu banyak kegiatan lain yang sangat menguras waktu, pikiran dan tenaga yang sepertinya tidak bisa lagi memberi porsi bagi saya untuk menulis buku harian.

Disuatu hari pernah saya merenung, mengingat-ingat kembali bagaimana indahnya melewatkan waktu dengan menulis buku harian. Begitu mudahnya kenangan tergambar ketika suatu hari kubaca lagi buku harian. Seolah masa lalu itu menjadi sangat dekat saja adanya. Berbeda halnya dengan hari ini, lama sudah tak saya temui lagi buku harian, semakin jauh saya dari masa lalu, tak saya temui lagi kejujuran diri, yang ada justru malah sebaliknya, menumpuk kebohongan demi kebohongan. Menyiasati kepentingan-kepentingan agar dapat tercapai dengan segala cara. Jelasnya ketika hal-hal kebohongan dan siasat-siasat itu saya tuliskan didalam buku harian, alamat hancurlah saya, terutama ketika buku harian itu dibaca orang lain, atau bahkan musuh-musuh saya. Betul-betul buku harian itu akan menjadi bumerang bagi diri saya.

Pernah suatu hari, betapa marahnya saya, ketika tahu ada seseorang telah membuka-buka buku harian saya yang tersipan dikamar diatas sebuah meja. Saya mencurigai ada yang membuka-buka buku harian saya karena posisi dimana buku harian biasa saya simpan ternyata sudah berpindah. Ada sedikit lipatan buku harian yang tidak saya kenal, karena saya tahu persis saat itu lembar demi lembar buku harian saya. Kalau pun ada yang sesuatu yang harus saya berikan tanda dalam buku harian itu, pastilah ada alasan yang menyertainya termasuk jika tanda itu adalah lipatan. Dan sejauh yang saya ingat, saya belum pernah memberikan tanda lipatan dalam buku harian saya.

Lipatan dalam lembar buku harian itu adalah tepat dimana sebuah catatan penting tentang perburuan dan penelusuran informasi kriminal dan tindakan asusila yang memalukan dari salah seorang ibu kawan saya. Dan tentang apa catatan buruk itu? Sepertinya akan membongkar rahasia juga apabila catatan itu harus saya ceritakan disini. Karena sejak awal cerita ini memang akan menjadi rahasia dalam hidup saya. Ya, kalau pun nanti ada orang yang tahu tentang cerita buruk dalam catatan itu, saya berharap informasinya tidak datang dari saya. Dan itulah alasan kenapa saya marah. Saat itu hancur sudah semua rahasia yang saya simpan dalam buku harian itu.

Saat saya marah, sempat pula terpikir, mengapa saya harus menuliskan catatan semacam itu dibuku harian, dan juga, kenapa orang yang telah membuka-buka buku harian saya begitu tertariknya dengan catatan saya yang satu itu, padahal banyak sekali catatan-catatan lain yang menurut saya itu lebih menarik, lebih hidup dan bisa lebih menginspirasi hidup. Tapi namanya juga pilihan, selera orang terhadap informasi memang sangat berbeda-beda. Hanya saja, yang membuat saya lebih marah lagi, pasti pada saat orang yang membuka buku harian itu secara lembar per lembar, oh, betapa banyak rahasia hidup yang sudah saya simpan yang sudah dia baca? Tidak mungkin lipatan dalam lembaran halaman tentang cerita buruk itu dengan begitu saja dapat dia ketahui atau memilih dengan begitu saja langsung pada lembaran catatan buruk itu, "kurang ajar!" Hardik saya.

Semenjak itu saya mulai mengurangi kebiasaan menulis di buku harian, seperti yang saya sebutkan tadi diatas, saya lewatkan sehari, dua hari, seminggu, sebulan hingga bertahun-tahun saya lewatkan untuk tidak lagi menulis buku harian. Ingatan saya mengatakan, buku harian terakhir yang saya isi saat itu sudah saya bakar bersama rasa marah itu. Saya bakar buku itu karena saya benar-benar tidak mau hal serupa terulang lagi, orang dengan seenaknya membuka catatan harian milik orang lain.

Walau pun sesungguhnya saya sangat merindukan sekali dapat menulis lagi dibuku harian, terutama saat sebuah nasehat kawan kepada saya yang diucapkannya saat bertemu di kampus pada suatu waktu itu. Belum lagi saya memulai menulis, rasa marah yang dulu pernah hinggap didada tentang buku harian, malah terlebih dahulu menyeruak mendahului ide-ide bagus yang mestinya tergores dengan tinta pena dalam lembar-lembar putih. Saya memang telah kehilangan sebagian besar kepercayaan kepada orang lain, kekhawatiran yang menjadi-jadi telah menumpulkan kreativitas. Selanjutnya saya berpikir, catatan hidup itu cukup saya simpan saja dalam ingatan saya.

Saya kini adalah bagian dari kebiasaan lama sebagian orang yang hidup lama dengan saya. Kenangan hidup adalah cerita dari mulut ke mulut yang setiap harinya akan mengalami distorsi cerita atau penambahan-penambahan makna yang tidak penting dari cerita yang sebenarnya. Begitupun nasehat itu, hanya menjadi angin lalu. Tidak ada lagi cerita yang murni, mendamaikan, menciptakan ruang sejuk bagi si penerus bangsa.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline