Hampir tak ada lagi ruang untuk bisa menghinari suara tawa yang terdengar malam ini. Dingin udara seolah telah mencampurkan semua kegembiraan yang sedari kemarin begitu membahana bak deru angin yang menerpa pepohonan di tepi sungai itu. Sudah kuduga, kebbisingan semacam ini pasti akan memuakanku dengan cepat! Disamping gonggongan anjing, begitu banyak lagi suara nyaring disini, anjing itu terikat tak jauh dipagar rumah tetangga!
Hingar bingar itu kunamakan pesta. Seperti biasa, setiap berganti terang oleh gelap selalu saja melewatkannya dengan pesta. Walaupun ketika beberapa orang sempat kutanya, apa enaknya membuat pesta, jawaban atas mereka selalu saja bernada hampa. Semua seolah-olah mendapati kegembiraan dan kebahagiaan, padahal aku tahu, hatinya tidak demikian.
Aku memang bukan orang yang menyukai pesta, walau keadaan hati sedang tidak karuan. Bahkan ketika hati sedang hancur sekalipun, aku akan menghindari pesta, meskipun kebanyakan orang lebih memilih hal itu untuk mengembalikan kegembiraan hatinya disaat mengalami kegundahan atau kehancuran hati. Aku lebih memilih mengabaikan dunia hura-hura, gemerlap pesta atau istilah apapun yang setara dengan hal itu.
Pilihan yang dari semula mampu membuatku tegar, walaupun tidak demikian bagi temanku, bahkan menurutnya itu semua konyol adanya. Bagi temanku yang penggila pesta, menganggap sikapku itu sebagai sikap orang aneh. “Dalam hidup yang serba tidak menentu ini...”, katanya, “tidak mungkin kita bisa menghindari pesta!”. “Didalam pesta setidaknya kita bisa sejenak melupakan kepenatan hidup.” Kata-katanya itu kerap aku dengar takala dia tidak henti-hentinya ingin mengajak aku kedunia dimana biasa dia berada. Kawan yang aneh bahkan terkadang sinting. Coba saja perhatikan, sebagai penggila pesta, dia bilang kalau hari-hari dalam kehidupannya adalah pesta, sementara dilain sisi, pesta adalah jalan untuk sejenak menghilangkan kepenatan hidup. Ayo kita berpikir sejenak, kalau memang sehari-harinya dia ada didunia pesta, berarti setiap hari itu juga dia hidup dalam kesenangan, lalu dimana letak kepenatan hidupnya? Kini pesta justru telah merubah kehidupan orang-orang penggila pesta menjadi suasana yang menjemukan, tak menghibur, ujung-ujungnya malah menjadi kepenatan.
Pesta bagiku adalah suasana hampa yang akan menenggelam orang pada malam dimana gelapnya dapat sepekat karbon. Dalam gelap yang tak bisa mendapati keheningan. Sementara keheningan pada gelap adalah kesejukan yang selalu dicari orang-orang. Dunia pesta bisa membalikan sesuatu yang alamiah menjadi serba mengada-ada sehingga pesta sesungggunya adalah suatu suasana yang sulit bisa diterima oleh manusia normal. Aku selalu berpikir begitu, makanya aku tak menyukai pesta.
Kembali lagi pesta, -rasanya masih belum cukup aku untuk terus menghujat dia- akan menyeretku pada keharuan yang berlebih terutama ketika pesta itu berlalu. Keharuan itu sebetulnya dapat saja kulalui tanpa harus malakukan tindakan bersenang-senang. Misalnya dengan cara berkelakar, membeli lilin untuk dinyalakan dalam gelap malam, mengingat lelucon konyol para prajurit pandir dalam perang Eropa pada jaman klasik atau.. cukup kau pergi di ketinggian lalu kau... ya, apa sajalah yang penting tidak pesta. Suasana pesta benar-benar akan membawamu pada dunia yang lebih gelap seperti kubilang diawal tadi.
Sebaiknya kau jangan meragukan lagi aku kalau akau memang benar-benar tidak menyukai pesta. Alasanku tadi cukup rasional, bukan? Atau kalau memang belum cukup, aku masih bisa menggungkap fakta-fakta lain supaya kau mendapatkan banyak alasan agar dapat menghindari pesta. Seperti fakta yang satu ini, kalau pesta akan membawamu pada dunia kriminal. Kau tak akan sanggup menghindar dari obat bius atau opium atau barang-barang sejenis itu. Pesta akan mengaburkan kau dari pandangan hidup yang bersahaja. Disana kau akan mendapatkan kesulitan bagaimana membedakan mana sebetulnya kebajikan yang bisa kau jalankan dan mana keburukan yang seharusnya kau tinggalkan. Semua nilai tercampur dan tak jelas lagi ujung pangkalnya. Aku sampaikan ini, bukan semata-mata ungkapanku karena aku dapat bertemu kau saat ini, tetapi semua adalah perkataan orang bijak yang sebelumnya suka menasehatiku.
Sebelumnya aku juga pernah menjadi orang bebal dengan nasehat-nasehat orang bijak. Karena sesungguhnya orang-orang bijak pun pada dasarnya adalah para penggila pesta juga. Tetapi kerapihan dan kepatutan mereka berbicara setidaknya telah dapat menimbun dalam-dalam kebiasaan berpestanya. Namun apa boleh buat, ketika tak ada lagi orang yang dapat kumintai nasehat agar aku benar-benar dapat terhindar dari pesta selain mereka walaupun sekali lagi mereka pun adalah para penggila pesta, akhirnya kudengar juga kata-kata mereka.
Derita panjang selama malam, itulah sebenarnya yang saat ini ingin kulalui bersama kau. Tetapi jalan pikiranku mati karena kau yang tak bisa lagi kuajak bicara hanya karena aku bicara tak lebih hanya menyampaikan apa kata mereka yang selalau banyak berbicara. Aku tahu kau suntuk dan marah, tetapi tak baik jika kita harus menyerah begitu saja pada kegelapan malam ini. Mendengar sedikit nasehat meskipun itu keluar dari mereka yang seharusnya lebih banyak mendengar nasehat adalah pilihan kita untuk malam ini. Percik api ini setidaknya bisa kita jadikan lagi pemantik bagi pelita kita akar dapat terjaga dari malam hingga tiba pada cahaya yang benar-benar yang bisa memberi terang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H