Lihat ke Halaman Asli

Praperadilan Sebagai Senjata?

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini kajian mengenai praperadilan begitu mengemuka. Banyaknya persoalan hukum yang menjadi isu nasional membuat perkara praperadilan menarik perhatian masyarakat.
Praperadilan yang lama tidak muncul mulai menjadi bahan kajian kembali bagi ahli hukum terutama berkaitan dengan efektivitas praperadilan melindungi HAM dalam tindakan upaya pksa aparat hukum, serta perdebatan mengenai perlu tidaknya praperadilan diganti dengan peran hakim komisaris sebagaimana tercantum dalam RUU KUHAP. Banyak pihak menganggap praperadilan masih diperlukan dalam perlindungan HAM dari kesewenang-wenangan hakum penguasa serta untuk menguji seberapa jauh aturan hukum acara pidana telah dijalankan oleh aparat hukum.
Arti praperadilan dalam hukum acara pidana dapat dipahami dalam bunyi pasal 1 butir 10 KUHAP yang menyatakan praperadilan adalah wewenang pengadilan untuk memeriksa dan memutus :
1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan.
2. Sah atau tidaknya penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan yang bersangkutan demi tegaknya hukum dan keadilan.
Secara limitatif umumnya praperadilan diatur dalam KUHAP pasal 77 sampai 88. Selain itu, ada pasal lain yang berhubungan dengan praperadilan tapi diatur dalam pasal tersendiri yaitu mengenai tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam pasal 95 dan 97 KUHAP.
Praperadilan adalah hal biasa untuk membangun kontrol antara kepolisian, kejaksaan dan tersangka melalui kuasa hukumnya. Janganlah suatu proses praperadilan ditanggapi dengan kecurigaan bahwa antara lembaga hukum akan saling menjatuhkan. Dalam suatu negara hukum, saling kontrol adalah hal yg lumrah untuk menghindari kesewenang-wenangan penerapan upaya paksa (penangkapan dan penahanan) atau penghentian penyidikan atau penuntutan (SP3 dan SKPPP) secara tidak beralasan apalagi diam-diam. Upaya kontrol itu perlu sebagai upaya peningkatan kinerja di lembaga penegak hukum. Oleh karena itu praperadilan harus diterima dengan lapang dada, begitu pula dengan putusan dari hasil praperadilan. Kepolisian, kejaksaan, hakim dan advokat harus mampu bekerja sama mnampilkan hukum yang pasti, jelas dan memadai. Kepastian hukum akan membuat keadaan negara harmonis dan pencari keadilan merasa terlindungi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline