Lihat ke Halaman Asli

“Nasionalisasi Bukan Membahayakan tapi Suatu Keniscayaan!”

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Nasionalisasi Bukan Membahayakan Tapi Suatu Keniscayaan!”
Minggu, 10 Mei 2014.
Jakarta, gerakannasionalisasi_migas@yahoo.com - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan pernyataan keras tentang isu menasionalisasi aset asing, merupakan hal yang justru berisiko bagi perekonomian Indonesia. Pernyataan keras SBY tentang isu nasionalisasi aset asing itu diunggah dalam situs Youtube, pada 7 Mei 2014. SBY katakan jika kita dituntut di pengadilan arbitrase, lusa kita bisa kalah. Kalahnya itu akan memporakporandakan perekonomian kita, dampaknya dahsyat. Sebab itu Presiden nyatakan kalau ada seorang Calon Presiden (Capres) yang bersikukuh akan menasionalisasi aset asing, SBY tidak akan memilihnya, tidak akan mendukungnya, karena ia mengaku tahu risikonya, dan itu membawa malapetaka bagi Indonesia.

Munculnya pernyataan keras SBY ini pun mengisyaratkan arah dari sikap politik yang akan diambil SBY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Isyarat tersebut yaitu Partai Demokrat di bawah kepemimpinan SBY tak akan menjalin koalisi dengan partai yang bersikukuh ingin menasionalisasi aset asing. Sementara itu Capres yang paling bersemangat mewujudkan kepemilikan aset nasional adalah Prabowo Subianto. Capres Partai Gerindra itu selalu menyampaikan soal nasionalisasi dalam setiap kesempatan, diantaranya teriakan Prabowo saat Kampanye Akbar Gerindra di Stadion GBK, pada 23 Maret 2014.

Dari markasnya dibilangan Jatinegara, Jakarta Timur, Gerakan Nasionalisasi Migas (GNM) dengan tegas menyatakan bahwa nasionalisasi itu bukan membahayakan tapi suatu keniscayaan. “Pernyataan Presiden SBY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat di situs Youtube itu menyesatkan, dan tentu sangat kami sesalkan” cetus Komandan GNM, Binsar Effendi Hutabarat, dalam keterangannya kepada pers (10/5/2014).

Aliansi strategis civil society GNM yang selama ini menyuarakan nasionalisasi migas, jelas punya kewajiban moral untuk menyanggah pernyataan SBY, yang menurut Binsar Effendi yang juga Wakil Ketua Umum FKB Angkatan 1966, “SBY itu tidak menghayati amanat Pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945 secara seksama. Seorang presiden yang abai pada konstitusi negaranya sendiri sama artinya presiden yang memerintah sesuka hatinya”, ujarnya tegas.

Makna “dikuasai negara” pada amanat Pasal 33 UUD 1945 memang tidak harus diartikan bahwa negara sendiri yang langsung mengusahakan sumber daya alam. Aksentuasi “dikuasai negara” atau kedaulatan negara atas SDA terletak pada tindakan negara dalam hal pembuatan kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan terhadap kegiatan usaha di bidang sumber daya alam.

Tetapi perlu diingat, ucap Binsar Effendi yang juga Ketua Umum Solidaritas Pensiunan Karyawan Pertamina (eSPeKaPe), “Meskipun lima peranan negara atau pemerintah telah terpenuhi, akan tetapi tujuan penguasaan negara adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehingga harus dapat dipastikan atau dijamin bahwa kelahiran undang-undang yang menyinggung kewajiban negara untuk menyejahterakan rakyat terkait dengan cabang-cabang produksi yang penting serta kekayaan sumberdaya alam yang dikuasai negara, tidak menimbulkan kesalahan fatal selama pelaksanaannya”.

Sedangkan pengertian “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” menurut Binsar Effendi, menjadi sempit yaitu hanya dalam bentuk pajak dan royalti yang ditarik oleh pemerintah, dengan asumsi bahwa pendapatan negara dari pajak dan royaltinya akan digunakan untuk sebasar-besar kemakmuran rakyat. “Keterlibatan rakyat dalam kegiatan mengelola sumberdaya hanya dalam bentuk penyerapan tenaga kerja dan oleh pihak pengelolaan sumberdaya alam tidak menjadi prioritas utama dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia. Sehingga akhirnya sumber daya alam dan kenikmatan yang didapat hanya dikuasai oleh sekelompok orang saja. Maka ada erosi makna Pasal 33 UUD 1945 yang seyogyanya diberikan untuk kepentingan orang banyak” terangnya.

“Adalah suatu ‘kedunguan’ SBY sebagai seorang presiden. Atau, realistis pendapatnya yang bisa jadi ada udang dibalik batu dalam pemburuan rente selama ini, dengan para investor asing dibiarkan menguasai sumber daya alam kita, menjadi di duga mendekati kebenarannya”, beber Binsar Effendi yang menganggap sikap SBY tidak akan memilih Capres yang giat menyuarakan nasionalisasi aset karena kekhawatirannya jika Capres tersebut terpilih, tidak tertutup kemungkinan akan menghentikan praktek pemburuan rentenya.

Padahal, lanjutnya, jika memperhatikan kondisi bangsa kita pada dimensi kekinian sudah sangat mengkhawatirkan. “Sehingga tanpa dukungan dan kebijakan oleh semua elemen bangsa, maka lambat laun seluruh aset akan jatuh ke tangan orang asing. Hingga saat ini aset negara sekitar 70-80% telah dikuasi bangsa asing. Begitu pula di sektor seperti migas dan batu bara antara 70-75%, telekomunikasi antara 70%, dan lebih parah lagi adalah pertambambangan hasil emas dan tembaga yang dikuasai asing mencapai 80-85%. Kecuali sektor perkebunan dan pertanian dalam arti luas, asing baru menguasai 40%” terang Binsar Effendi geram.

Koordinator Eksekutif GNM yang juga Koordinator Eksekutif Gerakan Perubahan (GarpU) Muslim Arbi menanggapi pernyataan SBY di situs Youtube soal nasionalisasi aset membahayakan, bak menampar muka LSM kejuangannya. “Bagaimana tidak. GNM sudah sering menyerukan kepada publik agar memilih Capres yang berani dan bertekad melaksanakan aksi nasionalisasi, malah SBY menantangnya. Bahkan Wakil Sekjen Partai Golkar Tantowi Yahya ikut-ikutan bersikap seprti SBY” ungkapnya sengit.

Anehnya, menurut Muslim, saat Ketua KPK Abraham Samad bersikap ingin mendorong pemerintah menasionalisasi migas, SBY tidak bereaksi. Tapi setelah Capres Prabowo lantang menyuarakan pengambilalihan aset, begitu juga Capres Jokowi yang diamanatkan untuk melaksanakan ajaran Trisakti, SBY mendadak berang. “Padahal coba kita lihat saja di sektor migas. Beberapa di antaranya adalah Blok Siak di Riau yang dikelola oleh Chevron Pasific Indonesia, Blok Offshore Mahakam di Kalimantan Timur dengan operator Total E&P Indonesia, Blok Sanga-sanga dengan kontraktor Vico, dan Blok Southeast Sumatera dikelola China National Offshore Oil Corporation. Ada pula Blok Bula dengan operator Kalrez, Blok South Jambi B dikelola ConocoPhilips dan Blok Muriah yang dikelola Petronas. Semua itu dikuasai oleh asing” bebernya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline