Lihat ke Halaman Asli

eSPeKaPe Tuntut Sudirman Said Mundur Dari Jabatan Menteri ESDM

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

eSPeKaPe Tuntut Sudirman Said Mundur Dari Jabatan Menteri ESDM

Jakarta, 12 Februari 2015.



Pertamina sudah mendapat restu dari Pemerintah untuk mengambil alih Blok Mahakam dari Total E&P Indonesie dan Inpex Corportion. Namun dalam pelaksanaannya menurut Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Dwi Soetjipto, 10 Desember 2014 menyatakan, jika izinnya harus disetujui oleh Staf Ahli Khusus Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Widhyawan Prawiraatmaja. Widyawan sebelumnya merupakan Deputi Pengendalian Komersil di Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) yang berkarir di SKK Migas sejak Februari 2013, dan ditunjuk sebagai Staf Khusus setelah Sudirman Said baru menjabat beberapa hari sebagai Menteri ESDM.

Solidaritas Pensiunan Karyawan Pertamina (eSPeKaPe) pasca memperingati HUT Ke-14 pada 10 Februari kemarin, dari markasnya di jalan Raya Jatinegara Timur Jakarta Timur merasa terusik dengan kewenangan Staf Khusus Menteri ESDM yang diberi wewenang untuk kepastian memberi izin kepada Pertamina untuk mengambil alih Blok Mahakam. Sejak awal Ketua Umum eSPeKaPe memang Binsar Effendi Hutabarat merasa gusar memperoleh informasi ini.

Menurut Binsar Effendi yang juga Ketua FKB KAPPI Angkatan 1966, Pasal 12 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2001 yang menyatakan, “Menteri menetapkan Badan Usaha (BU) atau Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang diberi wewenang melakukan kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi pada Wilayah Kerja”. Sepanjang mengenai kata-kata “diberi wewenang”; dalam lapangan hukum administrasi negara, pengertian pemberian wewenang adalah pelimpahan kekuasaan dari pemberi wewenang, yaitu negara. Sehingga dengan pencantuman kata “diberi wewenang kepada BU dan BUT” maka penguasaan negara menjadi hilang.

Oleh karena itu, kata-kata “diberi wewenang” menurut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Perkara No. 002/PUU-I/2003 tentang uji materi UU Migas No. 22 Tahun 2001 terhadap UUD 1945, tidak sejalan dengan makna Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, di mana wilayah kerja sektor hulu adalah mencakup bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang salah satunya adalah minyak dan gas bumi (migas), yang merupakan hak negara untuk menguasai melalui pelaksanaan fungsi mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi. Sehingga adanya kata-kata “diberi wewenang” kepada menteri dalam Pasal 12 ayat (3) dimaksud adalah bertentangan dengan UUD 1945. “Apalagi kepastiannya untuk Pertamina mengambil alih Blok Mahakam harus seizin Staf Khusus Menteri ESDM, semakin tidak sesuai dengan Putusan MK tersebut”, ujarnya dalam keterangannya kepada pers (12/2/2015).

Selanjutnya berdasarkan keterangan Pemerintah, mulai 1 Januari 2015 harga premium diberlakukan setelahPemerintah mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis premium mulai 1 Januari 2015,meski Pemerintah masih campur tangan dalam penentuan harga bensin premium dengan Research Octane Number (RON) 88. Lebih lanjut Menteri ESDM Sudirman Said menjelaskan, ada tiga kategori BBM dalam kebijakan baru Pemerintah tersebut. Pertama, BBM tertentu yang masih disubsidi, yakni minyak tanah dan solar. Sementara BBM umum yakni bensin premium tidak lagi disubsidi dan berlaku untuk wilayah Jawa, Madura, dan Bali.

Sekalipun Sudirman Said mengatakan, saat ini harga BBM tersebut masih bersifat tunggal atau single price yang ditetapkan oleh Pemerintah karena masih dalam masa transisi, tapi jika skema ini sudah berjalan, akan diberikan kelonggaran kepada pelaku pasar untuk menentukan harga. “Ini artinya, jelas harga BBM jenis bensin premium menjadi mengikuti harga mekanisme pasar bebas”, tegas Binsar Effendi yang juga Komandan Gerakan Nasionalisasi Migas (GNM).

Padahal kata Ketua Umum eSPeKaPe ini, Pasal 28 ayat (2) dan (3) UU No. 22 Tahun 2001 yang berbunyi “Harga BBM dan harga Gas diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar; serta pelaksanaan kebijaksanaan harga tidak mengurangi tanggungjawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu”, oleh MK campur tangan Pemerintah dalam kebijakan penentuan harga haruslah menjadi kewenangan yang diutamakan untuk cabang produksi yang penting dan atau menguasai hajat hidup orang banyak. Pemerintah dapat mempertimbangkan banyak hal dalam menetapkan kebijakan harga tersebut termasuk harga yang ditawarkan oleh mekanisme pasar.

Tapi Pasal 28 ayat (2) dan (3) UU Migas No. 22 Tahun 2001 tersebut mengutamakan mekanisme pasar dan baru kemudian campur tangan Pemerintah sebatas menyangkut golongan masyarakat tertentu, sehingga tidak menjamin makna prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, guna mencegah timbulnya praktik yang kuat memakan yang lemah. “Menurut MK, seharusnya harga BBM dan harga Gas dalam negeri ditetapkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan kepentingan golongan masyarakat tertentu dan mempertimbangkan mekanisme pasar. Oleh karena itu Pasal 28 ayat (2) dan (3) tersebut oleh MK dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Sama artinya harga BBM jenis premium yang mengikuti mekanisme pasar, jelas mengkhianati konstitusi negara”, tuturnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline