Lihat ke Halaman Asli

Muraishi

Pengamat Kesehatan Indonesia

Pasca UU Kesehatan: Perlukah Dokter Khawatir?

Diperbarui: 13 Juli 2023   10:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

RSUD Dekai di Yahukimo, Memprihatinkan (Dok. pribadi)

  • Perlukah Dokter Khawatir?

  • Pasca UU Kesehatan, banyak dokter menjadi khawatir.
  • "Masa depan semakin suram," kata mereka.

  • Dilihat dari semakin banyaknya supply dokter,
  • pandangan mereka benar.
  • Tapi dilihat dari rasio dokter:penduduk,
  • kekhawatiran itu berlebihan.

  • Sebab rasio dokter:penduduk Indonesia itu rendah.
  • Terendah ketiga di ASEAN, diatas Laos dan Kamboja.
  • Per 1000 penduduk, Malaysia punya 1,5 dokter.
  • Per 1000 penduduk, Indonesia punya 0,5 dokter.

  • Artinya, sekedar untuk menyamai Malaysia,
  • dibutuhkan kenaikan 200 persen jumlah dokter.
  • Dan untuk mencetak sebanyak itu,
  • pastinya dibutuhkan puluhan tahun.


  • Kondisi di Pelosok

  • Mari lihat kondisi di sebuah kabupaten di Papua.
  • Inilah realita di kabupaten di pesisir :

  • 1. Penduduk sekitar 300 ribu
  • 2. Hanya ada 1 RSUD
  • 3. Di RSUD seringkali tidak ada spesialis
  • 4. Tidak ada RS-Klinik swasta

  • Nah, untuk memenuhi kebutuhan dokter spesialis,
  • Pemkab biasanya bekerjasama dengan Univ. Negri.

  • Maka dikirimlah dokter residen tingkat akhir ke pesisir.
  • Kontrak 1 tahun dan digaji 20-30 juta sebulan.
  • Akan tetapi harus bagi hasil dengan Univ. Pengirim.

  • Bagi dokter residen, ia sulit menolak.
  • Karena selama pendidikan, ia menjadi pekerja rodi gratisan.
  • Menolak berarti membuat seniornya tidak senang.
  • Menerima berarti bisa refreshing dan mengisi dompet.

  • Sistem sering tidak berjalan baik.
  • Karena berbagai sebab, sering spesialis tidak datang.
  • Alhasil, pasien dengan kasus spesialistik harus diangkut naik pesawat ke kota besar.

  • Bayangkan: Seseorang sakit usus buntu.
  • Demam dan nyeri perut hilang timbul yang menyiksa.
  • Tapi tidak ada dokter bedah.
  • Maka harus dirujuk ke kota besar naik pesawat.

  • Atau seorang wanita akan melahirkan.
  • Tapi tiba-tiba macet dan perlu dioperasi Caesar.
  • Tapi tidak ada dokter kandungan.
  • Dirujuk naik pesawat pun pasti tidak akan sempat.


  • Solusi Jangka Panjang 

  • Tapi solusi pemenuhan kebutuhan dokter bukan hanya itu.
  • Orang-orang politik terkenal punya banyak akal.

  • Mengetahui kebutuhan dokter umum saja kurang,
  • menyadari impian para dokter adalah sekolah,
  • Pemkab membuat kontrak dengan para dokternya.

  • Dokter kontrak sering ditawari menjadi PNS daerah.
  • Diberi janji untuk disekolahkan,
  • tapi bahkan setelah menjadi PNS bertahun-tahun,
  • banyak yang tidak juga disekolahkan spesialis.
  • Menjadi dilema karena kehadiran mereka sangat dibutuhkan.

  • Atau ada juga yang sudah diberi rekomendasi,
  • tapi ditolah oleh Universitas dengan berbagai alasan.

  • Sedang yang beruntung,
  • mereka memang masuk sekolah spesialis,
  • dengan perjanjian kontrak mengabdi di daerah.
  • Lamanya 2N+1.

  • Jika pendidikan mereka lamanya 6 tahun,
  • maka harus mengabdi di kabupaten selama 13 tahun.

  • Sistem ini sangat menguntungkan daerah,
  • (dan rakyat banyak di kabupaten)
  • tapi sangat merugikan dokter sebagai individu.

  • Pasalnya di daerah tidak ada prospek.
  • Usia muda yang produktif dihabiskan di pinggiran.
  • Mirip seperti nasib penambang truk batubara,
  • dapat uang banyak... tapi buat apa?

  • Tidak banyak yang bisa dibeli-dinikmati di pelosok.

  • Menyadari bagaimana nasibnya kelak,
  • dokter yang cerdik dan berani memanfaatkan celah.
  • Masuk spesialis dengan memanfaatkan pengaruh, rekomendasi dan biaya Pemda,
  • tapi keluar dari PNS setelah jadi spesialis.

  • Tentu saja dengan menyadari denda.
  • Uang untuk itu sudah diperhitungkan.

  • Hasil akhirnya, semua rugi.
  • Dokternya mendapat reputasi buruk.
  • Rakyat banyak tidak mendapat hak atas layanan spesialisnya.
  • Pejabat Pemda kecewa dan menjadi sulit percaya dengan dokter. 

  • Padahal pangkal masalah sebenarnya sederhana :
  • Sistem yang berbasis Universitas.


  • Sistem Pendidikan Dokter Berbasis RS

  • Maka dengan berubahnya sistem menjadi berbasis RS,
  • idealnya dokter di pesisir pun bisa menjadi spesialis.
  • Hanya perlu mengirim pengajarnya ke daerah.
  • Ditambah melengkapi alat-alat pemeriksaan medis.

  • (Seharusnya bisa ada lebih banyak lagi kemudahan dengan akses 4G. 
  • Sayang sekali, karena kasus korupsi BTS 8 Trilyun, 
  • entah bagaimana nasib 4G di daerah pesisir...)

  • Karena berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh UU Kesehatan ini...
  • Diharapkan daerah pesisir memiliki banyak spesialis.
  • Minimal satu untuk tiap spesialis dasar.
  • Dan semuanya adalah PNS.

  • Dalam hitungan waktu 6-10 tahun ke depan hasilnya bisa terlihat:
  • Setiap RSUD memiliki satu dokter untuk bidang2 spesialis dasar.
  • Yaitu penyakit dalam, bedah, dan kandungan. 

  • Barulah selanjutnya memberikan rekanan...
  • Atau kompetitor bagi para dokter spesialis itu.

  • Tujuannya agar masyarakat daerah bisa memiliki second opinion*,
  • yaitu tempat bertanya yang lebih netral,
  • seandainya diagnosa atau hasil terapi yang diberikan sulit diterima.

  • *) Di lapangan, second opinion itu tidak selalu ada.
  • Karena semua dokter pada dasarnya adalah bersaudara.

  • Atau saling menutupi kesalahan sesamanya.
  • Seperti jiwa korsa seperti pada instansi militer. 

  • Akan tetapi memiliki prinsip second opinion jauh lebih baik,
  • daripada kewenangan medis yang tidak memiliki pembanding sama sekali.


  • Kesimpulan Akhir

  • Sebagai kesimpulan,
  • Penulis berpendapat dokter sama sekali tidak perlu khawatir.
  • Keterdesakan dokter hanya karena urusan supply yang tidak merata.
  • Jika tinggal di kota, ya banyak kompetitor dan tuntutan.

  • Tapi cobalah berkarya di daerah.
  • Disana peluang terbuka sangat lebar.
  • UU Kesehatan memungkinkan Anda belajar spesialisasi sambil dibayar.

  • Win-win solution buat pemerintah, karir Anda, dan rakyat banyak. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline