Lihat ke Halaman Asli

Semangat CSR ala Karl Marx

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebelum tahu 70an banyak perusahaan hanya berorientasi pada bisnis (profit oriented). Tapi sejak banyaknya peristiwa-peristiwa dalam skala besar yang disebabkan oleh perusahaan, seperti eksploitasi alam dan penindasan buruh, maka media menekan perusahaan agar mempunyai tanggung jawab juga dengan masyarakat. Tanggung jawab sosial yang dimiliki perusahaan inilah yang akhir-akhir ini menjadi sangat populer di kalangan perusahaan dengan nama CSR (Corporate Social Responsibility).

Program CSR sendiri pada dasarnya telah diatur dalam keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan pengusaha untuk melakukan uji materiil (judicial review) terhadap Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Penolakan yang dikeluarkan bulan April 2009 oleh MK tersebut artinya setiap perseroan terbatas wajib mengalokasikan dana perusahaan untuk melaksanakan program CSR demi kesejahteraan rakyat. Dalam prakteknya, belakangan banyak yang menganggap bahwa CSR justru lebih berperan efektif daripada lembaga publik (negara).

Namun, jangan sampai kita terlalu terbuai dengan kata Sosial, mungkin saja ada unsur-unsur politis yang melatarbelakangi perusahaan melakukan kegiatan sosialnya. The Millenium Poll dalam CSR mengatakan bahwa CSR 60% mempengaruhi opini publik. Jangan-jangan CSR dilakukan hanyalah upaya memperbaiki diri, karna diri sudah jelek. Misalnya CSR yang dilakukan oleh perusahaan rokok dalam pertandingan bulutangkis, bagaimana mungkin perusahaan yang menyesakkan nafas menjadi sponsor yang mengharuskan kebugaran. Atau berbagai macam spanduk saat bencana merapi oleh berbagai macam institusi, mulai dari perusahaan swasta sampai partai politik. Bencana seakan-akan menjadi ajang yang pas untuk mengiklankan diri. Perilaku perusahaan seperti inilah yang pada dasarnya mengotori praktik CSR. CSR tak mempunyai core lagi sebagai Corporate Social Responsibility tapi lebih condong kepada Bran Social Responsibility.

Semangat CSR pada dasarnya sama dengan semangat yang dicita-citakan oleh Marx dalam Manifesto Communist. Marx meneruskan apa yang dikatakan Hegel “yang absolut pada fase historis”, namun sebelum kesana ia memandang bahwa manusia membutuhkan sandang, papan, pangan dalam hidupnya. Ada “model produksi” untuk menjamin hidup. Ada proses perubahan dari model feodal (dulu manusia berburu alam) lama kelamaan berubah menjadi kapitalis –yakni mengambil lebih dari apa yang dibutuhkan-. Lalu muncullah masyarakat dengan kelas. Sialnya dimana ada kelas, disana pasti ada konflik kepentingan. Dan yang tak terhindari adalah adanya eksploitasi –model masyarakat menjadi sosial borjuis-. Hadirlah Manifesto Communist yang bertujuan menciptakan masyarakat proletar global. (Garvey,2010)

Perusahaan sebagai simbol kapitalisme melakukan kegiatan sosial seakan-akan menjadi perpanjangan tangan atas Departemen Sosial. Namun, bagaimanapun mensejahterakan rakyat adalah tugas negara, negara dengan dibantu perusahaan seharusnya mampu bergandengan tangan bersama-sama demi mewujudkan sila ke-5 pancasila yakni “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sampai akhirnya cita-cita Marx tentang masyarakat proletar tanpa kelas bisa direalisasikan. Jangan sampai kegiatan ini dilakukan sebagai wujud peralihan perhatian atas segala kebobrokan perusahaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline