Lihat ke Halaman Asli

Kemampuan Berbahasa dan Resolusi Konflik

Diperbarui: 8 Maret 2017   09:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sadar atau tidak, cara berbahasa sebagian besar masyarakat kita rata-rata masih bermasalah. Bahkan, ini terjadi tanpa disadari, karena dianggap lumrah, biasa, dan tidak dianggap sebagai masalah. Penggunaan bahasa yang tidak tepat, cara berbahasa yang salah ternyata menimbulkan problem besar dalam menjalani kehidupannya.

Padahal kemampuan berbahasa perlu dikenalkan sedini mungkin. Yudhistira A Massardi (2002; 319) memandang bahasa sama dengan perilaku lainnya seperti berjalan, duduk, dan berlari. Perkembangan bahasa pada anak bukan saja dipengaruhi oleh kondisi biologis anak, tetapi lingkungan bahasa di sekitar anak sejak usia dini itu lebih penting. Karena bahasa adalah alat komunikasi untuk menyelesaikan masalah.

Satu contoh adalah tentang resolusi konflik atau yang lebih kita kenal sebagai kemampuan menyelesaikan masalah. Masih banyak kita temukan orang dewasa ketika menghadapi masalah, masih belum bisa meredamnya dengan benar. Ketika marah, pelampiasan emosi yang diluapkan adalah menangis, melakukan serangan fisik seperti membanting pintu, dan melempar barang-barang pecah belah. Ketika tak mampu menguasai diri, dan tidak mampu mengungkapkan bahasa dengan baik, maka akan berlanjut dengan melakukan serangan verbal. Sehingga kata-kata yang keluar terdengar kasar, dan membuat orang yang mendengar merasa tidak nyaman. Diam adalah respon yang paling parah. Ini terjadi karena ada satu mata rantai yang terputus sejak masa pertumbuhannya. Ketika kecil tidak pernah dididik untuk mengungkapkan perasaannya. Jarang sekali diberikan kesempatan bicara.

Semua permasalahan di atas apalagi kalau bukan karena kemampuan berbahasa yang kurang terasah. Jika dirunut ke belakang, sebenarnya ada pengalaman masa lalu yang belum tuntas saat masa kecilnya. Ledakan egosentrisnya yang pada umur 1-2 tahun itu dikekang. Pada masa-masa itu anak sedang mulai pada tahapan sedang cerewet-cerewetnya, sering banyak bertanya, tapi tidak kita fasilitasi dengan baik. Kita cenderung memotongnya, bahkan mematikannya. Sehingga ketika ada orang dewasa, tapi belum bisa menguasai resolusi konflik, sama halnya levelnya seperti anak toddler {usia 1 – 2 tahun}.

Maka jangan heran, saat di sekolah, guru memberikan kesempatan bertanya, tapi murid-murid lebih banyak diam, tidak memilki keberanian mengangkat tangan sebagai pertanda siap bertanya. Dampaknya anak tumbuh menjadi pribadi pemalu, ragu-ragu, pesimis, tidak memilki keberanian memutuskan, dan tidak memiliki kemampuan menyelesaikan masalah. Orang-orang yang memiliki karakter tersebut, dalam fase kehidupannya, dia tidak akan menjadi orang sukses.

Sebagai makhluk sosial, interaksi orang lain tidak terbantahkan. Kita tidak bisa menghindari itu. Kita tidak mungkin bisa hidup sendiri. Salah satu bagian paling penting dalam berinteraksi adalah berkomunikasi, dan berkomunikasi sangat dekat dengan cara berbahasa. Dan salah satu fungsi bahasa adalah sebagai media untuk mengatasi masalah saat konflik. Dan ini tidak terhindarkan, karena suatu saat dalam fase kehidupan seseorang pasti akan menghadapi masalah. Sementara masalah hadir bukan untuk dihindari, tapi untuk diberikan solusi. Masalah juga hadir sebagai upaya mendewasakan cara berpikir sekaligus bersikap seseorang.

Nah, salah satu upaya yang bisa kita perbaiki adalah dengan mengubah cara berbahasa melalui penggunaan bahasa cinta. Cara yang dimaksud adalah dengan memberikan kesempatan anak-anak kita yang masih usia dini dengan berbicara, mengungkapkan sekaligus menyampaikan perasaannya, tidak memangkas apalagi mematikan. Bahasa cinta adalah bahasa yang mengalirkan perasaan. Kita berbahasa sesuai dengan perasaan anak.

Karena kami paham  mengungkapkan perasaan itu penting karena perasaan ibarat air yang harus terus menerus dialirkan. Jika tidak dialirkan, maka akan tersumbat, terbendung, dan ketika air tersumbat akan mencari jalan keluar sendiri. Perasaan yang tersumbat, dia akan mencari jalan keluar sendiri, yang jika tidak tepat bisa membahayakan kehidupannya.

Berbicara di sini tidak sekedar mengungkapkan isi hati dan perasaan semata, tapi juga dengan menggunakan bahasa yang berpola SPOK. Subjek, predikat, objek, dan keterangan. Bahasa yang terstruktur. Bahasa berpola ini bertujuan untuk menyampaikan fakta informasi secara utuh, tidak bias, dan tidak salah tafsir.

Inilah yang sehari-hari diterapkan di sekolah sentra yang kami kelola di Buana Kids dan SD Al Biruni. Bahasa yang kami gunakan adalah bahasa yang terstruktur dengan menghindari 3M (Memarahi, Melarang, Menyuruh). Itulah bahasa yang sehari-hari kami pakai, baik bahasa terhadap sesama guru, guru terhadap murid atau murid terhadap guru, termasuk murid terhadap murid.

Sesuai tahap perkembangan anak, penggunaan bahasa yang berpola, akan membuat susunan sel saraf otak menjadi lebih terstruktur. Anak-anak yang terbiasa mendengar pola bahasa yang terstruktur, membuat mereka memiliki kemampuan bicara, mudah menyerap berbagai macam informasi, mudah mempelajari bahasa asing, gampang mengungkapkan perasaan, memiliki keberanian menyatakan pendapat, mempunyai kemampuan menyelesaikan masalah, dan yang paling membuat adem hati orang tua dan guru adalah anak-anak terlihat menjadi lebih santun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline