The English version of this article is available here.
"Saba Budaya adalah suatu istilah yang berasal dari kata Saba dan Budaya. Saba itu artinya berkunjung. Dalam konteks Saba Budaya Baduy berarti silaturahmi antara pengunjung orang luar Baduy dengan orang Baduy"
Mandala Kanekes laksana lubang hitam penuh misteri di pusat galaksi Milky Way, berjarak 26 ribu tahun cahaya, memiliki gaya gravitasi luar biasa, yang menarik apa saja ada di dekatnya. Sejak abad ke-18 ketika seorang pengelana Belanda bernama Blume kepincut alam Kanekes, hingga abad ke-21, saat ini, peneliti ilmiah, pelancong, serta pegiat Baduy banyak bertandang ke Mandala Kanekes.
Para peneliti ilmiah, biasanya akademisi, tertarik kepada kehidupan masyarakat Kanekes atau alam di mana orang Kanekes tinggal untuk dijadikan bahan kajian di bidang disiplin ilmu masing-masing untuk tujuan pemenuhan persyaratan studi, menulis skripsi, thesis, disertasi, jurnal ilmiah, atau buku.
Berbeda dengan peneliti, yang jumlahnya bisa dihitung jari, para pelancong adalah orang-orang yang datang berduyun-duyun, berkelompok-kelompok, bermarga-marga bertandang ke Mandala Kanekes sekedar untuk clingak-clinguk memuaskan rasa keingintahuan tentang bagaimana orang Kanekes hidup, kemudian pulang ke kota dengan membawa kenangan yang tidak mudah dilupakan dan 'mudah lupa' membawa kembali plastik dan sampah yang dibawa dari luar.
Juga laen dengan pelancong, pegiat Baduy yang pada umumnya adalah orang dari luar Mandala Kanekes merasa tertarik dan tergerak hatinya untuk ikut membantu gerakan melestarikan alam Kanekes dan budaya Kanekes. Sangat mungkin sekali, para pegiat Baduy ini memiliki visi dan misi yang seirama dengan orang Kanekes, seperti ikut melestarikan hutan, menolak kemungkinan adanya onshore mining, menolak pabrik semen, mencegah illegal lodging, atau mengkampanyekan VCFAD (Village Car Free All Days).
Efek kebanyakan tamu
Tamu-tamu yang datang itu membawa pedang bermata dua. Satu sisi, mereka membawa 'finansial inflow' yang menggerakkan perekonomian desa. Madu bisa dijual, kerajinan tangan bisa laku, kain tenun mendapat pasar. Pisang dibuat kripik. Sumber penghasilan warga Kanekes tidak hanya bergantung kepada 'ekonomi subsisten' berladang, berkebun dan memanfaatkan hasil hutan saja. Ada pilihan lain: trading dan jasa. Namun, pada sisi yang lain, efek kebanyakan tamu itu kurang menyenangkan bagi orang Kanekes. Ambil contoh masalah sampah plastik yang ditinggalkan para pelancong tadi.
Seperti dilaporkan oleh salah satu warga Kanekes di sosial media, Mulyono Kanekes, yang berbakti sosial untuk membersihkan sampah-sampah plastik yang berserakan karena begitu saja dengan gagahlailainya pelancong menukar 'kenangan indahnya' dengan 'indahnya meninggalkan sampah'.
Ujung-ujungna, urang Kanekes keneh bae nu katempuhan. (Baca: Pada akirnya orang Kanekes juga yang harus membersihkan tanah yang disampahi tamu.)
Mecari solusi
Masalah sampah yang ditinggalkan para pelancong inilah menjadi salah satu keprihatinan pegiat Baduy, salah satunya Kang Heru Nugroho, yang 'menafsir' mendapat mandat dari Lembaga Adat Baduy untuk menulis surat kepada Presiden Joko Widodo, mengusulkan agar Presiden membuat dan menetapkan sebuah kebijakan (untuk) supaya wilayah Adat Baduy tidak lagi dicantumkan sebagai lokasi objek wisata.
Berkat gebrakan Kang Heru ini, stakeholder yang merasa berkepentingan dengan Mandala Kanekes mendadaksontak terundang untuk ngariung, bersawala (istilah yang diusulkan Kang Suhada) dan merenungkan kembali apa yang sesungguhnya terjadi di Mandala Kanekes disebabkan 'efek kebanyakan tamu' dan kemungkinan ekses-ekses tidak menguntungkan bagi kesejahteraan masyarakat Kanekes.