Deru angin berhembus pelan. Sang mentari perlahan bersiap menenggelamkan dirinya. Diantara himpitan gedung-gedung yang menjulang indah. Sehelai rerumputan membentuk formasi yang menawan. Palang besi kian menjulang. Seakan ingin berkata, akan segera datang pahlawan kebaikan.
Namun, Budi tak bergeming. Ia tetap berada di bawah mistar besi itu. Tempat yang strategis baginya semenjak bergabung di klub sepakbola amatir. Ia hanya memandang barisan rerumputan. Dimana bola bulatnya diletakkan. Sebuah kaki menerjang rerumputan itu. Dan, Budi hanya menepis sepucuk bola melingkar.
Barisan burung berlari ke sana ke mari. Pertanda ada suara yang mengganggu mereka.
“Priitt..priitt..priittt..” Wasit meniupkan peluit panjang. Pertanda permainan selesai.
Budi masih saja di bawah mistar. Suara desahan angin membawa kedamaian. Lewat begitu saja. Tidak dirasakan. Ia masih tidak percaya. Seperti padi tua di sawah, ia menundukkan kepala. Tidak lama berselang, seorang kakek tua menyambanginya.
“Tidak apa-apa nak, ini belum berakhir,” bisikan kakek tua itu mencoba menenangannya.
Ia merengkuh anak berusia 10 tahun tersebut. Kepalanya yang semula merunduk, perlahan kian tegak. Mata yang semula memerah dan berlinang, kini terperangah. Dengan sangat dalam. Bibirnya kian tersenyum. Ia tidak menghiraukan suara angin yang menyibukkan telinganya.
“Budi! Budi! Budi!” terdengar jelas dari sudut kanan lapangan hijau itu.
Nampaknya suara itu adalah riuh penggemar Budi dan tim sepakbolanya.
Sejenak Budi melupakan kekalahan. Tersipu oleh suara merdu di tengah riuhnya penonton.
“Budi! kamu hebat,” teriak Sarah.