ANIES Rasyid Baswedan tampaknya sulit tidur nyenyak hari-hari ini. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu memang masih terus berusaha menebar senyum dan mengumbar tawa lepasnya pada berbagai kesempatan 'mengkampanyekan' dirinya. Seraya berjuang untuk tetap menyelaraskan gestur tubuhnya, seperti memberikan keyakinan bahwa 'the show must go on'. Namun, terasa juga jika mantan Rektor Universitas Paramadina dan Mendikbud itu berusaha keras menyembunyikan kegalauannya.
Pasca deklarasi pencalonannya sebagai bakal calon presiden (bacalon) dari Partai Nasdem, 3 Oktober lampau, Anies Baswedan intensif melakukan safari politik. Diawali dengan kunjungannya ke Kantor Pusat Partai Demokrat, menjalin komunikasi dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Anies kemudian gencar menggelar silarurahmi dengan berbagai pihak. Tak terkecuali menemui pentolan Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shibab dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, masing-masing pada 7 dan 14 Oktober.
Anies, jelas, tengah mencoba melakukan berbagai pendekatan dalam upaya meningkatkan dukungannya sebagai bacalon Presiden dari Nasdem, dan di sisi lain, dalam mencari calon pendampingnya yang cocok sebagai wakil presiden pada Pilpres 2024 mendatang.
Dari pertemuannya dengan AHY, pagi hari di 7 Oktober, Anies terkesan belum 'sreg' dengan figur yang disebut-sebut 'ngeyel' untuk menjadi cawapresnya tersebut. Anies memang memberi beberapa tanda bahwa pertemuan dengan AHY sangat penting dalam merumuskan langkah kedepan yang lebih baik. Kendati demikian, dalam pandangan banyak pengamat, Anies masih kurang merasa 'klop' disandingkan dengan AHY.
Dari sisi AHY, mendampingi Anies pada Pilpres 2024 bisa jadi 'last but not least'. Sebagai ketum PD, AHY merasa sangat pantas untuk ditetapkan sebagai bacalon presiden atau wapres. Namun, AHY tampaknya tahu diri, sementara posisi capres sulit didapat, maka maksinal yang harus diperjuangkan adalah cawapres.
Akan tetapi, konstelasi itu pun sangat tergantung pada pilihan Anies, yang sudah diberi kepercayaan oleh NasDem untuk mencari calon pendampingnya sendiri. Tentu juga dengan mempertimbangkan pergerakan koalisi yang ditempuh NasDem, PD dan satu partai lain yang sejauh ini masih belum pasti--dengan PKS tetap menjadi opsi utama.
Keresahan dan kegalauan Anies saat ini tak hanya karena ia masih belum menemukan bacalon cawapresnya, meski dugaan tetap menguat pada AHY dan Andika Perkasa. Akan tetapi juga pada kenyataaan adanya gempuran lain yang diterima NasDem, partai yang mengusung pencalonannya.
Deklarasi pencalonan Anies sebagai representasi bacalon capres dari NasDem tampaknya tidak 100 persen diterima atau didukung oleh jajaran elit atau 'grassroot' partai besutan Surya Paloh itu.
Buktinya, Anies diguncang prahara dari dalam dan luar. Menyusul deklarasi pencapresan Anies pada 3 Oktober itu, sejumlah elit partai NasDem di beberapa daerah mengundurkan diri.
Prahara ekternal yang dialami NasDem lebih parah lagi. NasDem dianggap melanggar fatsoen politik dengan mengusung Anies, yang selama ini dikesankan berseberangan dengan pemerintahan Joko Widodo, mengingat Nasdem adalah partai koalisi pemerintah.