Lihat ke Halaman Asli

Fisafat, Layaknya Lubang tanpa Dasar yang Tak Perlu Dimasuki

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Bismillahirahmanirrahiim.

Filsafat mencari Kepuasan

Tidak dipungkiri kebanyakan manusia banyak melakukan aktivitas untuk mendapat kepuasan. Yaitu sensasi (rasa) yang menyenangkan.

Sangat banyak yang beraktifitas mencurahkan tenaga, waktu, pikiran dan harta (seperti modal) untuk mendapatkan kekayaan/harta yang banyak (lebih banyak dari modalnya).

Lewat harta banyak rupa kepuasan lain bisa didapat. Beli mobil mewah, gadget canggih, berwisata, jalan-jalan.

Sedangkan contoh berbagai aktivitas lain yang sangat banyak digunakan sebagai jalan menuju kepuasan ditempuh bagi penyukanya masing-masing, seperti makna-makna yang terkandung dalam istilah-istilah:

Hiburan-hiburan, (entah) hiburan siang, sore atau hiburan malam(bagi yang mencari hiburan), hingar-bingar (bagi yang senang hingar bingar), dugem, nonton, karaoke, dancing, memanjakan lidah, memanjakan telinga, memanjakan diri, wisata kuliner, liburan, rekreasi, pecinta alam, mendaki gunung, lewati lembah, traveling, turing, adventuring, shoping, kebut-kebutan, balap, membaca (bagi yang hobby membaca), menulis,  snorkling, cycling, diving, rafting, mancing, cuci piring (mungkin ada yang gemar beraktivitas beres-beres seperti cuci piring :), kepuasan berolah raga seperti finess, jogging, futsal, main sepak bola, olah raga bela diri, tinju, gulat, grafting, body building, bermain game (bagi gamer), social networking atau memang bekerja sebagai kepuasannya, accounting, programing, fotografi, koregrafi, kaligrafi, grafiti, dan lain-lain, dan seterusnya, dan sebagainya.

Semua itu mengandung konsekuensinya masing-masing, ada yang besar ada yang kecil, menguntungkan-merugikan, merusak tubuh-menyehatkan tubuh, merusak mental-menyehatkan jiwa, berdosa-berpahala (hanya orang beriman yang percaya)

Dan filsafat adalah suatu aktivitas manusia untuk mendapat kepuasan, yaitu kepuasan dengan berpikir. Sensasi kepuasan bisa didapat karena merasa telah sampai/mentok pada hakikat kebenaran melalui proses berpikir dalam filsafat itu.

Hasil penemuan kebenaran menurut filsafat bisa sangat memuaskan pikiran. Bahkan sering memuaskan bukan hanya pikiran pemilik pemikir yang mencari kebenaran itu/fisuf bersangkutan namun orang lain yang terangsang pemikirannya. Karena memang kesimpulan yang dirasa kebenaran itu sangat merangsang simpul pemikiran.

Buktinya adalah banyak orang sekarang meng-quote pernyataan para filsul masa lalu (misalnya dari Yunani, Sufi-sufi dari Timur Tengah yang terjangkit filsuf Yunani lalu mengembangkan filsafat mereka, Tokoh di Eropa maupun Amerika meskipun dikenal bukan sebagai filsuf namun pernyataan mereka adalah hasil filosofi mereka)

Namun aktivitas filsafat yang mencari kepuasan lewat berpikir banyak tidak disadari bahkan oleh filsuf sendiri. Mereka tahunya melakukan pencarian hingga merasa menemukan. Merasa sedang berproses mencari kebenaran hingga merasa menemukan kebenaran. Mereka menikmati itu, atau bisa pula terpaksa menikmatinya yaitu pengolahan rasa penasaran dengan pemikiran sendiri atau ditambahkan pemikiran orang lain yang telah disetujui oleh pikiran sendiri hingga titik henti/ merasa tidak lagi penasaran.

Saya katakan: merasa menemukan kebenaran.

Karena patokan kebenaran dari aktivitas filsafat adalah menyerahnya pikiran pada suatu titik yang dianggap kebenaran. Pikirannya tidak bisa lagi menyangkal kebenaran yang telah dia kira temukan. Semua pertanyaan yang terkait kebenaran yang dirasakannya dirasa telah terjawab atau telah berhenti di titik itu.

Hakikat kebenaran yang dirasa telah ditemukannya bisa jadi memang kebenaran secara hakiki dan bisa pula bukan kebenaran pada hakikatnya. Karena memang titik tolaknya adalah pencarian via pemikiran / Patokannya adalah pikiran.

Sehingga Saya mengatakan: merasa menemukan kebenaran.

Filsafat tingkat lanjut

Namun jangan salah,  filsafat tidaklah akan berhenti pada merasa menemukan kebenaran yang meskipun telah ditulis dalam buku-buku mereka, ditulis tinta emas kerajaan-kerajaan.

Semakna dengan hasil kalimat bijak yang melihat manusia: Manusia tidak ada puasnya.

Karena kepuasan berpikir yang dicari maka sering kali sebuah titik pemberhentian yang telah dikira sebagai kebenaran kembali digelitik lagi, dirangsang lagi dengan serangan-serangan pertanyaan, keraguan. Dan pikiran bisa melayang sangat tinggi, bisa menyelam amat dalam, tidak terbatas fakta nyata namun hanya dibatasi pikiran itu sendiri/logikanya sendiri. Serta semakin dalam berpikir seorang filsuf akan semakin puas jika merasa terjawab. Namun celakanya hal itu tidak akan berhenti, semakin dalam berpikir maka sebuah titik kembali harus digali lagi, didalami. Atau ada sanggahan pemikiran lain (bisa dari orang lain) yang bisa mempengaruhi kesimpulan menurutnya. Maka terus semakin dalam filsuf tenggelam dalam pencarian kepuasan berpikir. Itulah filsuf tingkat lanjut atau lebih lanjut lagi, lebih ahli lagi dan lagi. Maka jika diteruskan tiada berhenti maka sampai matipun keragu-raguan akan terus menyerangnya. Meskipun misal saat ini telah sampai pada suatu titik maka jangan mengira jika menggunakan jalan filsafat (pemikiran yang tunduk pada pemikiran) maka tidak ada lagi yang akan mempertanyakan kebenaran dititik itu, baik dari dalam maupun dari luar.Begitulah, keragu-raguan adalah akhir filsafat. Dia tidak menyadari bahwa syaitan yang turut memain-mainkan jiwanya untuk akhirnya bertujuan merugikannya.

Keragu-raguan adalah akhir filsafat, begitu pula menurut pengalaman seorang pakar filsafat yaitu Al-Fahrurrozi, yang telah mencapai tingkatan paling tinggi di masanya dalam ilmu filsafat. Maka sangat bodohnya jika harus terjun membuktikan sendiri dalam kurun sangat lama bagaikan terjatuh pada dalamnya lubang tanpa dasar. Jangan menggunakan pepatah pengalaman adalah guru terbaik, karena terbaik disini adalah terbaik memberi pelajaran (bahasa sundanya nyaho) namun dari segi waktu, jiwa dan raga akan sangat merugikan.

Maka Alangkah tingginya pemahaman orang-orang yang berilmu, diantaranya:

As-Safarini Rahimahullahu yang berkata: “Allah Ta’ala menciptakan akal dan memberinya kekuatan adalah untuk berpikir dan Allah Ta’ala menjadikan padanya batas yang ia harus berhenti padanya dari sisi berfikirnya bukan dari sisi ia menerima karunia Ilahi. Jika akal menggunakan daya pikirnya pada lingkup dan batasnya serta memaksimalkan pengkajiannya, ia akan tepat (menentukan) dengan ijin Allah. Tetapi jika ia menggunakan akalnya di luar lingkup dan batasnya yang Allah Ta’ala telah tetapkan maka ia akan membabi buta…” (Lawami’ul Anwar Al-Bahiyyah, hal. 1105)

Dan Sangat hikmahnya Islam sehingga menjaga apa-apa yang harus dijaga: agama, akal, harta, jiwa dan kehormatan.

Hikmah dalam Islam ada hal-hal yang penting yang diturunkan Sang Pencipta Alam Raya yang harus dijaga, didahulukan bahkan tidak semuanya akal bisa menjangkau. Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dzat Yang Maha Esa, Yang menciptkan alam semesta dan segala isinya, tidak membutuhkan suatu apapun, untuk mengatur, hukum-Nya lah yang berlakuketentuan-Nya lah yang berjalan di alam semesta, Dia tidak membutuhkan penolakan atau persetujuan untuk disebut bahwa hukumNya /Syariat-Nya lah yang harus dijalankan. Namun itu hanyalah butuhnya manusia pada-Nya. Karena jika melaksanakan ketentuan syariat-Nya maka Dia akan membalasnya.

“Dan didekatkanlah surga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka). Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada Dzat Yang Maha Pemurah padahal Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat, masukilah surga itu dengan aman, itulah hari kekekalan. Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami ada tambahannya.” (Qaf: 31-35)

Dan jika tidak melaksanakan ketentuan Syariat-Nya maka hukuman karena ulahnya sendiri.

Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling darinya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” (As-Sajadah: 22)

Oleh karenanya salah satunya Saya menulis artikel dan komentar atau sanggahan di http://edukasi.kompasiana.com/2011/06/17/mencari-kebenaran-hendaklah-melalui-jalan-yang-benar/.

Allahu Ta'ala a'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline