Lihat ke Halaman Asli

TAX CENTER UIN SGD BANDUNG

Pusat Studi Perpajakan Di UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Kenaikan PPN 12%: Tantangan Baru Untuk Ekonomi Indonesia

Diperbarui: 28 November 2024   15:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Berbagai reaksi muncul dari masyarakat dan pelaku usaha menanggapi usulan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, mengamanatkan kebijakan ini untuk mendorong perekonomian nasional melalui peningkatan pendapatan. Namun di tengah berbagai tantangan ekonomi yang masih membebani daya beli masyarakat, kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran akan dampaknya terhadap kesejahteraan rakyat.

Menurut pemerintah, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) memberikan kontribusi bagi pencapaian tujuan negara, antara lain untuk mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, meningkatkan penerimaan negara untuk pembiayaan pertumbuhan, dan menjaga stabilitas ekonomi dalam jangka panjang. Jika negara memperoleh penerimaan yang lebih besar dari pajak pertambahan nilai, maka ketergantungan pada utang akan berkurang dan negara akan lebih mandiri dalam membangun infrastruktur serta memenuhi kebutuhan masyarakat. Namun, untuk memastikan bahwa hal ini tidak berdampak secara negatif pada kesejahteraan, penerapan kebijakan ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan penuh dengan perhitungan.

Salah satu faktor yang dapat menyebabkan penurunan daya beli masyarakat adalah dampak langsung dari kenaikan PPN terhadap harga barang dan jasa yang dikenakan pajak seperti properti, kendaraan bermotor, peralatan rumah tangga, dan barang elektronik termasuk televisi, telepon pintar, dan lemari es. Dampak ini akan dirasakan lebih berat oleh kelompok masyarakat berpendapatan rendah, yang cenderung lebih sensitif terhadap kenaikan harga. Namun di sisi lain, pemerintah berupaya melindungi kebutuhan dasar masyarakat dengan tetap membebaskan barang-barang pokok seperti beras, gandum, daging, sayuran, dan emas batangan dari tarif PPN. Meskipun demikian biaya hidup secara keseluruhan diperkirakan tetap meningkat, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, akibat naiknya harga barang-barang sekunder yang berkontribusi pada pengeluaran rumah tangga.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal, pemerintah masih memiliki kemampuan untuk mempertimbangkan kembali kenaikan tarif PPN menjadi 12% ini apabila dinilai dampaknya terlalu besar. Kenyataan ini memunculkan harapan bahwa perubahan kebijakan dapat dilakukan sesuai dengan dinamika ekonomi yang terjadi, sehingga dapat mengurangi dampak terhadap masyarakat. Mengingat konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, langkah ini menjadi penting untuk diperhatikan agar bisa memastikan kestabilan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Terlepas dari semua itu adapula masalah yang memang penting untuk diberikan jawaban oleh pemerintah, yaitu sejauh mana masyarakat benar-benar siap untuk menghadapi kenaikan PPN nanti, jika melihat dari sisi dampak yang berpotensi besar terhadap daya beli dan kesejahteraan masyarakat. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup, hal ini terlihat dari tingginya angka pengangguran, rendahnya pendapatan rata-rata, dan ketimpangan ekonomi.

Kenaikan tarif pajak pertambahan nilai dapat mengakibatkan penurunan konsumsi, yang kemudian akan menyebabkan lambatnya pertumbuhan ekonomi. Padahal jika ditilik lagi, salah satu fondasi utama yang bertanggung jawab untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional adalah konsumsi rumah tangga. Sehingga dalam hal ini perlu melihat lebih jauh lagi dampaknya yang tidak hanya dalam hal konteks domestik tetapi juga dalam dinamika ekonomi global yang penuh ketidakpastian.

Setelah memahami dampak kenaikan PPN terhadap masyarakat, penting untuk melihat langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk meminimalkan efek negatif, antara lain:

  • Pemberian subsidi yang memadai untuk kebutuhan dasar seperti bahan makanan, listrik, dan bahan bakar harus ditingkatkan agar masyarakat rentan tidak semakin terpuruk.
  • Insentif untuk pelaku usaha kecil sehingga pemerintah dapat memastikan keberlangsungan bisnis mereka, sekaligus menjaga lapangan kerja.
  • Transparansi dalam pengelolaan pajak di mana masyarakat perlu diyakinkan bahwa dana yang diperoleh dari kenaikan PPN digunakan secara efisien untuk kepentingan publik.
  • Menyesuaikan kebijakan ini berdasarkan dinamika ekonomi domestik maupun global, sebagaimana disampaikan Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal.

Kenaikan PPN menjadi 12% adalah kebijakan yang memiliki tujuan strategis, namun implementasinya harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak membebani masyarakat secara berlebihan. Pemerintah perlu menunjukkan empati dan responsivitas terhadap aspirasi masyarakat serta memperkuat transparansi dalam pengelolaan pendapatan pajak. Jika langkah-langkah mitigasi dilaksanakan dengan baik, kebijakan ini dapat membawa manfaat jangka panjang bagi negara tanpa mengorbankan kesejahteraan rakyat.

Pada akhirnya, keberhasilan kebijakan ini bergantung pada kemampuan pemerintah untuk menyeimbangkan kebutuhan fiskal negara dengan perlindungan terhadap masyarakat. Dengan pendekatan yang inklusif dan berbasis data, kenaikan PPN dapat memberikan dampak positif yang berkelanjutan bagi pembangunan ekonomi Indonesia.

Author : Ajeng Siti Nuraeni

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline