Lihat ke Halaman Asli

TAX CENTER UIN SGD BANDUNG

Pusat Studi Perpajakan Di UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Mencari Titik Temu Rasio Pajak: Target Pemerintah dan Kesejahteraan Masyarakat

Diperbarui: 14 Juli 2024   19:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi peningkatan trafik data. (Freepik) 

Berbicara mengenai rasio pajak (tax ratio) dalam era dinamika ekonomi global saat ini telah menjadi subjek diskusi tak terhindarkan yang mempertemukan dua dimenasi krusial antara ambisi pemerintah dalam mencapai target pendapatan dengan kesejahteraan masyarakat yang diharapkan sebagai hasil dari pemerataan kebijakan fiskal. Rasio pajak (tax ratio) ini mengacu pada persentase pendapatan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) suatu negara. Rasio pajak (tax ratio) perlu mencerminkan kemampuan suatu negara untuk mengelola keuangan secara independen tanpa harus bergantung pada utang luar negeri. 

Dilansir dari data Bank Indonesia rasio utang Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara tergolong aman yakni sampai Maret 2024 berada di bawah batas aman sebesar 60% dari PDB. Melihat rasio utang yang tetap terkendali ini seharusnya pemerintah memiliki ruang gerak yang lebih leluasa untuk menerapkan kebijakan fiskal yang berkelanjutan dan inklusif.

Berdasarkan Rapat Kerja Komisi XI di Gedung Senayan I pada Sabtu,8 Juni 2023 bersama pemerintah disepakati bahwa rentang rasio pajak (tax ratio) tahun 2024 berkisar 9,92%-10,2% angka ini lebih besar dari ajuan pemerintah sebelumnya yang berkisar 9,91%-10,18%. Jika dibandingkan negara lain di kawasan ASEAN nilai rasio pajak (tax ratio) Indonesia masih tergolong rendah dengan nilai ideal negara berkembang sebesar 15%. 

Padahal pada tahun 2023 pendapatan perkapita Indonesia berhasil memperoleh kategori negara dengan berpenghasilan menengah ke atas atau upper middle income. Pendapatan perkapita sendiri merupakah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi rasio pajak. Kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki tantangan dalam mengoptimalkan penerimaan pajak.

Adapun beberapa permasalahan di Indonesia yang sering kali masih ditemukan dalam menghambat upaya peningkatan pencapaian rasio pajak, yaitu :

  • Shadow Economy, mencakup semua aktivitas ekonomi yang tidak tercatat resmi oleh pemerintah dan tidak dikenai pajak. Jumlah shadow economy di Indonesia menurut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ditaksir berkisar 8,3%-10% dari PDB. Sektor yang paling rawan dari praktik ini adalah UMKM karena masih banyak dari UMKM yang belum terdaftar sebagai wajib pajak.
  • Transfer Pricing, memungkinkan perusahaan multinasional mengalihkan keuntungan ke yurisdiksi dengan pajak yang lebih rendah sehingga mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar di negara asal.
  • Tax Gap, yaitu mengacu pada perbedaan antara jumlah pajak yang seharusnya dibayarkan kepada pemerintah (kewajiban pajak yang seharusnya) dengan jumlah pajak yang sebenarnya dibayar secara sukarela dan tepat waktu oleh wajib pajak. Dalam konteks ini, tax gap dapat dilihat sebagai ukuran ketidakpatuhan pajak (tax non-compliance). Terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan terjadinya tax gap yaitu non-filing gap, underreporting of tax owed, dan underpayment gap.

Melihat kompleksitas yang masih menyelimuti khazanah perpajakan di Indonesia, membenahinya menjadi tantangan tersendiri. Dari ketiga permasalahan di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa masalah utamanya terletak pada masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakan. 

Salah satu faktor penyebab wajib pajak menunda bahkan tidak membayarkan pajak adalah ketidakpuasan terhadap pelayanan publik. Ketimpangan yang masih terlihat seperti kemiskinan, pembangunan yang belum merata, sulitnya akses pendidikan, bahkan fasilitas kesehatan di kota-kota besar sekalipun, menandakan masih belum meratanya pengelolaan pajak itu sendiri. 

Terlebih lagi, kasus korupsi seperti yang menjerat mantan pejabat DJP Kementerian Keuangan Rafael Alun membuat kepercayaan publik semakin merosot. Kasus seperti ini  memunculkan pemikiran dalam benak masyarakat bahwa pajak belum sepenuhnya memberikan manfaat kesejahteraan bagi masyarakat dan lebih cenderung memperkaya para elit pejabat.

Kendati demikian, pemerintah Indonesia terus berupaya meningkatkan kepatuhan perpajakan dengan menciptakan public trust lewat berbagai terobosan. Mulai tanggal 1 Juli 2024, implementasi kebijakan pemadanan NIK sebagai NPWP diharapkan mendorong integrasi data dan memudahkan pendataan wajib pajak. Pembaruan sistem ke arah modern dengan peluncuran Core Tax Administration System diharapkan dapat membawa perubahan signifikan dalam sektor perpajakan dengan meningkatkan kepatuhan wajib pajak melalui proses self-assessment.

Selain itu, kenaikan tarif pajak perlu diperhatikan di saat melemahnya daya beli masyarakat Indonesia saat ini. Terutama bagi wajib pajak pengusaha yang sangat potensial di Indonesia, di mana mereka diharuskan membayar PPh Orang Pribadi maupun PPh Badan. Sebagai contoh, kenaikan PPN menjadi 12% bisa sangat membebani masyarakat. Jika diakumulasikan, jumlah ini sangat besar dan dikhawatirkan melemahkan sektor ekonomi jika kebijakan ini tidak dijalankan dengan cermat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline