Lihat ke Halaman Asli

Serial: Andaru Wijaya [37]

Diperbarui: 21 Januari 2017   19:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sementara itu Andaru Wijaya dan Ki Baruna sedang memuat gerabah kedalam gerobak pedati di pekarangan balai desa. Hasil kerajinan gerabah itu sedianya akan dijual kepada seorang pedagang dipasar Godean.

Pedati itu memuat banyak kerajinan gerabah, dengan ditarik seekor lembu tegar, sapi itu berangkat meninggalkan balai desa.

Ki Demang yang sedang berada di pendapa rumahnya tersenyum dan melambaikan tangannya. Andaru Wijaya yang mengemudikan pedati, juga Ki Baruna yang menyertainya membalas lambaian tangan Ki Demang.

Pedati itu bergerak lambat diantara jalan yang membelah persawahan di Kademangan Kembojan.

Hamparan sawah yang menghijau dan gemericik air diparit, membuat tenteram orang yang melihatnya.Batang-batang padi bergoyang ditiup semilir angin pagi, matahari pun masih nampak sebagian karena tertutup kabut pagi.

“Hmm..., segar sekali udara pagi ini Wijaya..!”kata Ki Baruna sambil memandang persawahan.

“Benar Ki Baruna..!”

“Sepertinya sebentar lagi akan panen, batang-batang padi itu pun beberapa rumpun telah mulai menguning,”ujar Wijaya sambil menunjuk pada rumpun padi yang dimaksud.

“Tanah Mataram adalah tanah yang subur, seharusnya rakyatnya hidup makmur. Tapi kendali penjajah atas tanah jawa sungguh menyengsaraka,”ujar Ki Baruna sambil menghela napas.

“Benar begitu Wijaya ?”tanya Ki Baruna.

Wijaya hanya tersenyum, sambil terus mengemudikan pedatinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline