Lihat ke Halaman Asli

Iqbal Tawakal

Rumah Perubahan

Keputusan Politik Sanders

Diperbarui: 10 Juni 2016   14:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: huffingtonpost.com"][/caption]Kampanye bakal calon Presiden dari Partai Demokrat tahun 2016 mungkin menjadi momentum yang begitu spektakuler bagi Bernie Sanders. Strateginya dalam mengatur agenda politik telah mengubah peta demografi di antara pemilih di AS dan mengantarkannya menjadi idola kaum muda yang notabene berumur seperempat dari umurnya yang sekarang. Bernie Sanders merupakan seorang kaum sosialis yang selama Ia berkampanye tidak pernah sekalipun menggendong seorang bayi dan menciuminya, namun Ia telah memenangi pemilihan pendahuluan di sebanyak 22 negara bagian dengan mengajari para orang tua tentang keadilan sosial dan mendobrak tembok kokoh kaum elit. Kini Ia telah kalah dengan pesaing utamanya di Partai Demokrat. Strategi politik perlu segera diubah.

Sanders pernah menyatakan bahwa Ia akan dengan penuh mendukung siapapun calon Presiden yang diusung Partai Demokrat. Seluruh calon pemilih pun berharap demikian. Namun, pergerakan politik Sanders hingga kini malah menunjukkan kecenderungan untuk tetap pada ideologi politiknya (dividing) ketimbang mendukung calon yang lain (coalescing).

Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh The New York Times dan CBS News bulan lalu, hampir seperempat pendukung Sanders mengaku, pada pertarungan antara Hillary Clinton dan Donald Trump mendatang, mereka akan memilih calon dari Partai Republik tersebut menjadi Presiden atau tidak memilih sama sekali. Jika hal ini terjadi, maka abstainnya suara dari pendukung Sanders akan membantu kemenangan seorang tokoh yang antitesis dan berseberangan dengan apa yang telah mereka perjuangkan selama ini.

Dalam hal ini, tentu calon pemilih memahami bahwa Sanders sudah tidak memiliki kans sama sekali untuk menjadi Presiden Amerika Serikat berikutnya. Sementara itu, terpecahnya suara pendukung di Partai Demokrat akan menjadi harga politik yang harus dibayar mahal di kemudian hari. Perpecahan tersebut dapat menghancurkan ambisi Clinton untuk menjadi Presiden dan mengantarkan Trump hinggap di Gedung Putih.

Sejarah mencatat peta politik yang serupa. Pada 1968, perpecahan kaum liberal di tubuh Partai Demokrat berimbas pada kekalahan calon unggulan saat itu, Hubert Humphrey, yang berujung pada terpilihnya Richard Nixon. Pada 1980, perlawanan sengit oleh Edward Kennedy kepada calon dari partai yang sama, Jimmy Carter, menurunkan elektabilitas Carter dan menaikkan popularitas Ronald Reagan. Pada 2000, sejumlah kaum liberal melihat Al Gore sebagaimana banyak orang melihat Clinton hari ini. Pecahnya suara dukungan pada pihak ketiga kala itu, Ralph Nader, mengantarkan George W. Bush duduk di kursi kekuasaan.

Nader, yang ketika itu dikagumi dengan kebijakan hak konsumen yang berdampak transformasional, tidak sepakat dengan gagasan publik bahwa Ia harus bertanggung jawab atas kemenangan Bush, dan Ia dengan tegas menyatakan bahwa Sanders harus tetap melanjutkan kampanyenya sebagai pihak ketiga.

Pilihan bagi Sanders untuk melanjutkan kampanyenya, menurut Nader, akan berpeluang untuk mengubah skema politik di tubuh Partai Demokrat dan berpengaruh pada keputusan Clinton dalam memilih tandemnya menghadapi Trump. Dan menurutnya, Trump tidak memiliki kans sama sekali untuk memenangkan pemilu nanti (The New York Times).

Nader boleh jadi tepat beranggapan demikian. Kini langkah Trump dinilai bukan ancaman serius dan nihil baginya kemungkinan untuk menang pemilu mendatang. Namun, pemilih tentu ingat Pemilu 1980, para pendukung Carter kala itu bersuka cita ketika Reagan tampil sebagai calon dari Partai Republik. Namun, tampaknya suka cita tersebut tidak berlangsung lama bagi para simpatisan dan pendukung Partai Demokrat.

Balada pemilihan Presiden di mana pun erat kaitannya dengan kejadian-kejadian tidak terduga. Tak terkecuali yang kini terlihat pada peta perpolitikan pemilihan Presiden di Amerika Serikat. Kemungkinan adanya gelombang imigran baru dari Amerika Tengah, atau serangan teroris sewaktu-waktu yang mengatasnamakan kelompok minoritas muslim di AS dapat secara langsung membenarkan ideologi politik Trump, bahkan melambungkan kembali nama dan kansnya di pemilu mendatang.

Kesuksesan Trump dan Sanders pada kampanye politik dan pemilihan pendahuluan beberapa waktu silam kiranya perlu menjadi refleksi para pengamat politik dalam menyikapi dan memprediksi jalannya dukungan pemilih kepada masing-masing calon. Pengamat politik dan calon pemilih sepakat bahwa mustahil bagi Trump untuk memenangi pemilu mendatang. Namun, perlu diingat, dugaan demikian begitu kuat ketika Trump masih bertarung memperebutkan kursi calon dari Partai Republik tidak lama ini.

Kiranya para pendukung Sanders juga harus ingat bahwa mereka sepakat dengan kebijakan publik Clinton, seperti ketimpangan pendapatan, dan biaya Pendidikan Tinggi. Sebaliknya, seberbeda apapun pandangan mereka dengan ideologi politik Clinton, sulit bagi para pendukung Sanders untuk tidak sepakat dengan reformasi kebijakan kesehatan, pembenahan di Mahkamah Agung, keterhubungan warga AS dengan kaum minoritas muslim dan hispanik, reformasi imigrasi, investasi usia dini, penguatan jaminan kesejahteraan sosial, hak-hak perempuan di seluruh dunia, dan peran global dalam mengatasi perubahan iklim yang diusung kandidat dari Partai Demokrat tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline