[caption id="attachment_394904" align="aligncenter" width="630" caption="Para delegasi menggunakan smartphone, berebut selfie dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi), usai menyampaikan pidato di acara APEC CEO Summit di China National Convention Center di Beijing, 10 November 2014. (AP PHOTO / ANDY WONG)"][/caption]
Pertemuan dua tahunan para duta besar Republik Indonesia, Senin 2/2 lalu, melahirkan beberapa perubahan fundamental akan landasan kerja diplomat Indonesia di kancah internasional.
Pada arahannya, Presiden Jokowi menjelaskan, fokus utama diplomasi Indonesia bertumpu pada kekuatan ekonomi. Ini semakin menjelaskan, hingga kini pemerintah sama sekali tidak memiliki arah kerja yang jelas dalam membangun kebijakan diplomatiknya dengan negara lain.
Gagasan kosong
Menurut Rene Pattiradjawane dalam ulasannya di Kompas hari ini, arahan Presiden Jokowi untuk menitikberatkan peran diplomat Indonesia di bidang ekonomi melahirkan satu diktum baru, yakni “jual, jual, jual”. Jika ditinjau dari sisi kelayakan kebijakan, jelas ini sebuah langkah mundur yang dilakukan oleh pemerintah karena berseberangan dengan konsep Poros Global Maritim. Hingga kini, konsep tersebut masih terbengkalai dan hanya sebatas jargon kosong tanpa perencanaan yang komprehensif.
Arahan kebijakan luar negeri yang baru tersebut juga kontraproduktif dengan empat landasan pokok strategi diplomasi Indonesia. Empat landasan pokok tersebut di antaranya meliputi memperkuat kedaulatan nasional, melindungi warga Negara Indonesia dan badan hukum di luar negeri, memperkuat diplomasi berbasis kemaritiman dan ekonomi, serta memperkuat peran Indonesia di kawasan dan di dunia internasional.
Dengan mengubah haluan kerja diplomat Indonesia untuk fokus kepada kekuatan ekonomi dan ‘menjual’nya kepada negara lain, Indonesia justru akan semakin goyah ketika dihadapkan dengan persoalan regional yang menyangkut benturan kekuatan geopolitik antarnegara di kawasan.
Sebagaimana diketahui, konflik tumpang tindih kawasan yang melibatkan setidaknya tujuh negara ASEAN hingga kini belum menemukan titik temu. Konflik ini diperparah dengan langkah Tiongkok yang akan melakukan reklamasi di Laut Tiongkok Tiongkok Selatan. Langkah ini dipersepsikan sebagai ancaman nyata Tiongkok terhadap negara lain. Lalu bagaimana sikap Indonesia ketika dihadapkan pada persoalan ini?
Kebingungan struktural
Kebijakan ini menghadapkan Indonesia pada “kebingungan struktural” pada konsep kebijakan luar negeri RI. Kebingungan ini sebagai wujud nyata dari lemahnya implementasi daripada gagasan Poros Global Maritim. Lemahnya implementasi ini dapat terjadi ketika suatu gagasan politik dikeluarkan oleh pihak yang minim dukungan politik dan sering kali dianggap tidak memiliki kapasitas untuk menentukan arah kebijakan luar negeri RI.
Gagasan Poros Global Maritim yang diusung Presiden Jokowi di awal pemerintahannya memerlukan skema kebijakan yang tidak sederhana. Indonesia terdiri dari gugusan pulau-pulau, dikelilingi lautan yang luas, dan diapit oleh dua samudera. Jika pemerintah masih mengabaikan fakta ini, maka hampir dipastikan seluruh landasan kebijakan tersebut akan runtuh karena tidak memiliki implementasi kebijakan yang jelas. Ini akan merugikan posisi Indonesia terhadap negara-negara lain di kawasan.
Skema kebijakan Poros Global Maritim dipersepsikan sebagai kebijakan utuh yang mengatur beberapa poin penting. Kebijakan ini meliputi pemanfaatan sumber daya untuk produk bioteknologi, pemanfaatan potensi sumber energi laut, pengelolaan kawasan laut sebagai zona konservasi terpadu, pengelolaan dan pemanfaatan hasil perikanan tangkap, peningkatan kekuatan instrumen keamanan laut dan kedaulatan maritim melalui diplomasi kemaritiman yang tangguh.
Pekerjaan rumah pemerintah
Arahan kebijakan ini dikhawatirkan tidak akan membawa dampak yang signifikan di masa yang akan datang. Ketika kebijakan ini dikeluarkan dengan tujuan untuk terus mengerucutkan defisit neraca perdagangan tahun lalu yang mencapai USD 1,89 miliar, maka kebijakan tersebut tidak menjadi satu-satunya jaminan. Dengan terlebih dahulu membuat skema kebijakan gagasan Poros Global Maritim yang komprehensif, pemerintah sebetulnya akan melangkah lebih jauh ke depan. Sekali dayung dua tiga pulau terlewati, pemerintah akan mampu mengatasi lebih banyak persoalan, khususnya pada kedaulatan ekonomi dan maritim.
Ini menjadi satu PR penting bagi pemerintah yang harus segera diselesaikan.
Oleh MOCHAMMAD IQBAL TAWAKAL
@sitawakal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H