Kasus bullying di sekolah selalu berulang setiap tahunnya. Seringkali kasus bullying tidak terselesaikan. Ironisnya, bullying sudah dianggap sebagai kewajaran!
Perilaku yang termasuk bullying diantaranya berupa ancaman fisik seperti memukul, mendorong, menyenggol, menendang, atau dalam bentuk verbal seperti mengejek, mencela, mengintimidasi, dan mengisolasi seseorang.
Dalam laporannya yang berjudul Promoting Equality and Safety in School, Plan menyatakan bahwa 84% murid di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Kelompok studi yang menangani masalah hak anak tersebut telah mengumpulkan data dari murid laki-laki dan perempuan berusia antara 12 – 17 tahun. Mereka juga mengumpulkan data dari orangtua, guru, serta kepala sekolah. Plan melakukan survey di lima negara yakni Kamboja, Indonesia, Vietnam, Pakistan, dan Nepal. Kesimpulan hasil penelitian mereka adalah, tujuh dari sepuluh siswa di Asia pernah mengalami kekerasan di sekolah.
Selain di Indonesia, di Pakistan terdapat 43% murid yang mengalami kekerasan. Kekerasan yang seringkali dilakukan adalah kekerasan emosional, diikuti dengan kekerasan fisik. Kekerasan fisik lebih banyak dilakukan oleh siswa laki-laki dibanding siswa perempuan. Pandangan regresif terhadap gender menjadi kontributor paling signifikan dalam kasus kekerasan fisik di sekolah.
[caption caption="Data jumlah korban kasus kekerasan di sekolah dari KPAI tahun 2013 – 2015"][/caption]
Korban kasus kekerasan meningkat cukup signifikan di tahun 2014. Akan tetapi, data KPAI menunjukkan adanya penurunan jumlah kasus kekerasan di sekolah pada tahun 2015. Kita semua berharap agar kasus kekerasan senantiasa menurun dari tahun ke tahun, bahkan hilang total pada akhirnya.
[caption caption="Data jumlah pelaku kasus kekerasan di sekolah dari KPAI tahun 2013 – 2015 "]
[/caption]
Jumlah kasus pelaku kekerasan di sekolah (bullying dan tawuran pelajar) juga menurun cukup signifikan sampai dengan tahun 2015 ini. Akan tetapi kita tidak boleh puas dengan penurunan kuantitas terjadinya kasus kekerasan di sekolah. Karena persoalan utamanya tidak hanya bergantung pada sedikit banyaknya jumlah kasus. Bisa saja terjadi sedikit kasus namun dampaknya besar hingga merengut nyawa sang korban. Seperti yang terjadi pada pertengahan September 2015 lalu, di Jakarta Selatan, siswa kelas 2 SDN 07 Pagi Kebayoran Lama Utara tewas setelah dianiaya temannya. Kedua anak tersebut sama-sama berusia 8 tahun. Dikabarkan bahwa kedua anak berkelahi ketika diadakan lomba mewarnai di sekolah tersebut. Kasus ini tentu menyentuh nurani kita. Kita tidak ingin kasus-kasus seperti ini akan berulang lagi di masa depan. Kasus kekerasan harus dihentikan secara total!
Bagaimana caraya agar anak terhindar dari bullying dan kekerasan?
Anak perlu memiliki mekanisme pertahanan fisik. Beberapa hal yang mungkin baik untuk dikuasai oleh sang anak diantaranya adalah kemampuan bela diri, kemampuan motorik, serta kesehatan yang prima. Selain pertahanan fisik, anak juga perlu mempunyai mekanisme pertahanan psikis yakni dengan memiliki rasa percaya diri, wawasan yang luas, keberanian dalam melawan dan melapor, serta kemampuan sosialisasi.
Agar anak tidak menjadi korban bullying, diperlukan pula peran aktif orangtua. Orangtua harus berperan aktif dalam menumbuhkan sikap percaya diri pada anak, menyediakan waktu untuk mendengarkan anak bercerita, mencoba mengenal teman-teman anak di sekolah, serta mengajarkan anak untuk berani berkata tidak. Hentikan bullying sebelum bullying menghentikan masa depan anak bangsa!
@taurahida
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H