Lihat ke Halaman Asli

Taufiq Rahmat H

Pengamat Sosial

Antara Al Ghazali VS Ibnu Rusyd (Problem Ketuhanan dan Alam Semesta)

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Diantara banyaknya perdebatan filsafat yang rumit dan radikal, terdapat hal yang sangat menarik dan menjadi perhatian banyak kalangan akademisi juga para pecinta filsafat. Hal tersebut adalah perang argument antara Al Ghazali versus Ibnu Rusyd. Perang argument filosofis antara Al Ghazali versus Ibnu Rusyd yang paling menonjol adalah mengenai problem ketuhanan dan alam semesta. Keduannya mempunyai pandangan yang berbeda dalam menginterpretasi teks Al Qur’an secara filosofis. Menariknya, keduanya sama-sama dari kalangan muslim, akan tetapi argument-argument diantara keduanya mengundang kontrovesi yang sangat mendasar, baik bagi kalangan umat muslim sendiri maupun bagi kalangan non-muslim (baca : dunia barat).

Perdebatan mengenai persoalan ketuhanan dan alam semesta dalam filsafat Islam, dapat ditemukan dalam aliran pemikiran Tasawuf dan Falasifa (filsafat dalam Islam). Berdebatan ini adalah antara Al Ghazali dengan kritiknya Tahafutul Falasifa (Incoherence of the Philosophers) dengan Ibnu Rusyd dalam karyanya Tahafutul Tahafut (Incoherence of the Incoherence). Perdebatan ini dimulai ketika Al Ghozali mulai mengkritisi para filsuf-filsuf muslim sebelumnya, yaitu Al Farabi dan Ibnu Sina yang pemikirannya berbau Aristotelian. Secara intensif Al Ghozali mengkritisi tentang problem ketuhanan dan alam semesta yang telah dipikikan secara metafisis spekulatif oleh para filsuf. Menurut Al Ghazali, hal ini tidak sesuai dengan ajaran Al Qur’an dan Al Hadits yang merupakan sumber kebenaran mutlak kaum muslimin. Kemudian, timbullah respond dan sanggahan dari Ibnu Rusyd terhadap pemikiran Al Ghazali. Perdebatan antara keduanya akan saya coba jabarkan dalam makalah ini.

PERSOALAN KETUHANAN DAN ALAM SEMESTA

PERDEBATAN ANTARA AL GHAZALI VERSUS IBNU RUSYD

A. Abu Hamid Al Ghazali

Nama lengkap Al Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Al Thusi Al Ghazali. Ia lahir pada tahun 450 H/1058 M di Thus, sebuah daerah dekat Masyhad, di Khurasan (Iran). Al Ghazali wafat pada tahun 505 H/1111 M. Nama Al Ghazali diambil dari kata ‘Ghazalah’ nama sebuah kampung, dimana Al Ghazali dilahirkan.

Kota Thus adalah tempat Al Ghazali menerima pendidikan awalnya. Tidak lama sebelum meninggal, ayahnya mempercayakan pendidikan Al Ghazali dan adik laki-lakinya Ahmad (1126 M) kepada seorang sufi yang saleh. Al Ghazali dididik untuk dapat mempelajari Al Quran dan Al Hadis, mendengarkan kisah tentang ahli hikmah, juga menghafal puisi cinta mistis. Setelah dana pendidikannya habis, ia dikirim ke sebuah madrasah, dimana disanalah ia pertama kali mulai mempelajari fikih dari Ahmad Al Raskani.

Al Ghazali pergi ke Jurjan di Mazardaran untuk melanjutkan studinya dibidang fikih di bawah bimbingan Abu Nashr Al Isma’ili pada usianya yang masih dini, yakni sebelum lima belas tahun. Pada usia tujuh belas tahun, ia kembali ke Thus. Sebelum ulang tahunnya ke dua puluh, Al Ghazali berangkat ke Naisyapur (Naizabur) untuk belajar fikih dan kalam di bawah didikan Al Juwaini. Al Ghazali diangkat sebagai asisten pengajar Al Juwaini dan terus mengajar pada madrasah Nizamiyah di Nizabur hingga Al Juwaini meninggal tahun 478 H/1085 M.

Al Ghazali mempunyai nama yang harum dalam Islam. Ia adalah seorang yang termahsur sebagai pengarang, sebagai sufi dan sebagai Shaykh Madrasah Al Nizamiah. Al Ghazali menyusun banyak buku untuk membersihkan ilmu-ilmu agama Islam dari kesesatan. Karena jasanya itu, ia dinobatkan sebagai seorang muslim terbesar sesudah Nabi Muhammad SAW. Dibalik nama harumnya dikalangan umat muslim, terdapat fakta lain, bahwa Al Ghazali juga di klaim sebagai penentang dan penghancur pemikiran filsafat, baik filsafat dalam Islam sendiri, maupun filsafat di dunia barat.

Al Ghazali adalah orang yang berkebangsaan Persia. Ia sempat mengalami krisis keimanan dan kemudian mampu menempuh hidup sufi selama 10 tahun. Krisis keimanan yang dialaminya dipaparkannya sendiri melalui sebuah otobiografi yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dimana dalam buku itu ia mengkritik 4 aliran dalam alam pikiran Islam pada masa itu, yaitu aliran isma’illi atau batiniah, madzhab para mutakalimun, tarikat tassawuf dan terutama falsafah hellenisme.

Pertama, Al Ghazali menulis buku berjudul Al Maqasid Al filasifah, kemudian ia melengkapinya dengan menulis buku keduanya yang berjudul Tahafutul Falasifa (ketidakberesan, kekaburan dari filsafat, yang lazimnya diterjemahkan dengan penghancuran filsafat). Kitab Tahafut terdiri dari 20 diskusi yang merupakan sistematisasi dari ajaran falsafah yang berbentuk semacam dialog tertulis diikuti bantahan-bantahan. Dari 20 dalil filsafat yang ditegurnya, hanya 4 yang disebutnya secara langsung sebagai kufurat dan subversif terhadap iman Iislam yang sejati yaitu dalil 1, 13, 18, 20. Isinya adalah sebagai berikut :

1.Dalil falsafah yang menyatakan bahwa dunia (alam) berfisat azali dan sama abadinya dengan Tuhan, juga termasuk hasil emanasi, semuanya wajibmengandung kufurat.

2.Dalil falsafah bahwa Tuhan tidak tahu hal-hal yang bersifat khusus (partikular), tetapi hanya mengetahui dunia (alam) dari aspek umum (universal), bertentangan dengan ajaran Al Quran : “Tiada yang luput bagi pengetahuan Ilahi” dan merupakan suatu kufurat.

3.Dalil bahwa tidak semua jiwa manusia sesudah maut (kematiannya) masuk taraf hidup baru (Farabi, Razi) menyimpang dari konsep keimanan Islam, dengan kata lain masih dalam tataran kufurat. Bila mereka membuktikan dengan akal bahwa jiwa tidak bisa hancur, bukti mereka batal, karena hal tersebut hanya dapat diketahui melalui informasi wahyu Tuhan.

4.Penolakan kenikmatan badaniyah kelak dalam akhirat, dan penggantiannya dengan kebahagiaan rohani semata-mata, adalah argument yang melwan wahyu Al Qur’an. Yang dimaksud dengan penolakan tersebut juga merupakan dosa kufur.

Al Ghazali kembali mengkoreksi kepada faham yang lebih umum. Selanjutnya dia mengkritik sejumlah dalil-dalil lain bukan sebagai suatu kekufuran, melainkan sebagai suatu bid’ah dan tidak logis. Dalam diskusi enam, Al Ghozali melawan ajaran ta’til dari mutazilah dan falsafah yang meniadakan adanya sifat-sifat nyata pada Tuhan. Al Ghozali juga menulis dalam beberapa argumen lain dengan memperbincangkan bukti tentang keberadaan Tuhan, keesaan Tuhan, pengetahuan Tuhan, penciptaan dan persoalan mengenai jiwa manusia.

Al Ghazali mengkritik filsafat yang semata-mata mempergunakan akal dalam memahami persoalan ketuhanan. Menurutnya, hal tersebut seperti mempergunakan suatu alat yang tidak mencukupi kebutuhan. Salah satu kritiknya berisi: “Apa yang mereka sebutkan itu adalah buatan mereka sendiri, bahkan pada hakikatnya merupakan kegelapan diatas kegelapan. Pernyataan mereka itu sama seperti ucapan orang yang sedang tidur dan bermimpi lalu mengeluarkan kata-kata yang dapat dikirakan berasal daripada orang-orang yang berubah akalnya”. Al Ghazali mengkhawatirkan pemikiran Al Farabi dan Ibnu Sina merusak keimanan umat Islam yang umumnya kurang kritis, terutama tentang permasalahan yang terkait dengan problem ketuhanan dan alam semesta.

Al Ghazali juga menentang pernyataan yang lahir dari filsafat Aristotelian bahwa alam adalah kekal. Menurutnya, alam berasal dari ketiadaan menjadi “ada” karena ciptaan Tuhan. Dunia berasal dari iradat (kemauan) Tuhan semata-mata dan tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat Tuhan bersifat mutlak dan terlepas dari ruang dan waktu, namun ciptaan Tuhan (dalam hal ini dunia/alam) dapat ditangkap oleh akal manusia, karena dunia terbatas dalam ruang dan waktu. Tuhan bersifat transenden, namun kemauan (iradat) Tuhan adalah immanent dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.

B. Abu Ya’la Al Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad Ibnu Rusyd

Dikalangan filsafat barat, Ibnu Rusyd lebih dikenal dengan sebutan Averroes. Nama lengkapnya adalah Abu Ya’la Al Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad Ibnu Rusyd (1126-1198). Ia lahir di Cordova, Andalusia. Kakeknya adalah seorang ahli fiqih dan ilmu hukum terkenal yang menjabat sebagai imam besar di Masjid Jami’ Cordova, kemudian diangkat menjadi qadi atau hakim agung. Setelah sepeninggalan akakeknya, jabatan hakim agung ini diteruskan oleh puteranya, ayah dari Ibnu Rusyd.

Ibnu Rusyd terlahir dari keluarga ahli fiqih dan hakim. Tidak mengherankan jika salah satu karyanya, Bidayat Al Mujtahid wa Nihayat Al Muqtasid, menjadi salah satu karya terkemuka dalam bidang. Buku ini merupakan suatu studi perbandingan hukum Islam, di mana di dalamnya diuraikan pendapat Ibnu Rusyd dengan mengemukakan pendapat-pendapat para imam fiqih.

Selain pandai dalam hal hukum dan ilmu fiqih, ia juga merupakan seorang dokter dan astronom. Tetapi, provesii ini kurang terkenal dibandingkan dengan reputasinya sebagai filsuf. Ia dianggap sebagai salah satu dokter terbesar di zamannya. Menurut Sarton, ia adalah orang pertama yang menerangkan fungsi retina dan orang pertama yang menjelaskan bahwa serangan cacar pertama akan membuat kekebalan berikutnya pada orang yang bersangkutan.

Sebagai seorang pemikir besar muslim, ia mempunyai gagasan-gagasan filosofis mengenai problem ketuhanan dan alam semesta. Pemikirang Ibnu Rusyd ini, nantinya akan memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan filsafat, terutama di dunia barat, yang kemudian direinterpretasi oleh filsuf barat hingga melahirkan renaisans dan zaman modern. Berikut akan saya coba uraikan pemikiran Ibnu Rusyd mengenai problem ketuhanan dan alam semesta.

1. Pengetahuan Tuhan

Pertanyaan Pertama : Apakah Tuhan mengetahui segala perincian juziyat?

Dalam usaha menjawab pertanyaan ini Ibnu Rusyd mengemukakan pendapat Aristoteles yang telah disetujuinya. Aristoteles berpendapat bahwa Tuhan tidaklah mengetahui persoalah juziyat (hal-hal partikular). Tuhan ibarat seorang kepala negara yang tidak mengetahui persoalan-persoalan kecil didaerahnya.

Pendapat Aristoteles itu disetujuinya dengan didasarkan atas argumen sebagai berikut :

Yang menggerakkan itu yakni Tuhan Al Muharrik. Tuhan itu merupakan akal yang murni bahkan merupakan akal yang setinggi-tingginya. Karena itu pengetahuan dari akal yang tertinggi itu haruslah merupakan pengetahuan yang tertinggi pula agar ada persesuaian antara yang mengetahui dan yang diketahui. Dan karena itu pula tidak mungkin Tuhan itu mengetahui selain daripada zat-Nya sendiri. Sebab tidak ada zat lain yang sama luhurnya dengan zat Tuhan.

Sesuatu yang diketahui Tuhan itu menjadi sebab untuk adanya pengetahuan Tuhan. Jadi kalau Tuhan mengetahui pula hal-hal yang kecil-kecil (juzilat/partikular), maka itu berarti bahwa pengetahuan Tuhan itu disebabkan hal hal yang kurang sempurna daripadaNya. Ini adalah tidak wajar. Maka sudah seharusnya kalau Tuhan tidak mengetahui selain dari zat-Nya sendiri. Aristoteles menggambarkan Tuhan sebagai kehidupan yang abadi, sempurna dari segala jurusan dan sudah puas dengan kesempurnaan zat-Nya sendiri.

Maksud pemikiran Ibnu Rusyd adalah, Tuhan itu hruslah berupa suatu akal yang tertinggi. Penciptaan haruslah berawal dari akal pertama, yang memerintahkan akal kedua untuk mencipta, dan seterusnya hingga akal kesepuluh. Yang dimaksud Tuhan hanya mengetahui secara universal dan tidak mengetahui masalah juziyat atau hal-hal partikular adalah, bahwa Tuhan itu adalah yang Maha Tahu. Artinya, haruslah Ia sudah mengetahui segala perincian dari awal, ketika Ia menciptakan alam. Jadi kalau Tuhan mengetahui hal-hal partikular, maka Ia tidak layak disebut Tuhan, karena pengetahuan partikular adalah pengetahuan yang didapat dari proses ‘tidak tahu menjadi tahu’. Kalau Tuhan itu mengetahui secara partikular, berarti sebelumnya Tuhan ‘tidak mengetahui’ hal partikular tersebut, kemudian setelah hal-hal partikular terjadi, barulah Tuhan tahu. Jika akal Tuhan bergerak dari ‘tidak tahu menjadi tahu’, maka Ia tidak layak disebut Tuhan. Menurut Ibnu Rusyd, Tuhan haruslah sudah mengetahui segala bentuk perincian (yang partikular) dari awal penciptaannya secara universal.

Ibnu Rusyd menyetujui argumen Aristoteles dan Ibnu Sina, tetapi Al Ghazali membantah keras argumen tersebut. Ibn Rusyd menentang Al Ghazali dan tetap membela argumen Aristoteles dan Ibn Sina. Dalam pembelaannya, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa mereka yang mendakwa ahli-ahli filsafat yang memungkiri pengetahuan terhadap juziyat itu disebabkan karena mereka tidak dapat memahami maksud dari para ahli filsafat. Maksud para ahli filsafat tersebut adalah memungkiri pengetahuan Tuhan kepada juziyat sebagaimana pengetahuan yang dicapai oleh orang-orang biasa. Sebagai penganut Aristoteles, ia mencari jalan dengan begitu saja meninggalkan pendapat Aristoteles disamping ia juga tetap tidak mau meninggalkan prinsip-prinsip agama.

2. Keazalian Alam

Perdebatan mengenai keazalian alam juga sangat menarik. Ibnu Rusyd berusaha mengemukakan argumennya yang menyikapi pertanyaan tentang ; Apakah alam ini mempunyai permulaan atau tidak?

Menurud Ibnu Rusyd alam ini adalah azali, tanpa permulaan. Dengan demikian berarti bahwa bagi Ibnu Rusyd ada dua hal yang azali, yaitu Tuhan dan alam itu sendiri. Hanya saja bagi Ibnu Rusyd, keazalian Tuhan itu berbeda dengan keazalian alam. Menurutnya, keazalian Tuhan lebih utama daripada keazalian alam.

Untuk memperkuat argumennya, ia menyatakan pembelaannya sebagai berikut : Seandainya alam ini tidak azali, ada permulaannya, maka alam ini menjadi hadits (baru), mesti ada yang menjadikannya, dan yang menjadikan alam, haruslah ada yang menjadikan pula. Demikian berturut-turut tak ada habisnya. Keadaan berantai seperti itu (tasalsul) dengan tiada berkeputusan akan merupakan hal yang tidak dapat diterima akal pikiran. Jadi mustahil kalau alam itu hadis (baru).

Karena diantara Tuhan dengan alam ada hubungan, meskipun tidak sampai pada masalah perincian walhal Tuhan azali, dan Tuhan yang azali itu tidak akan berhubungan sama, terkecuali dengan yang azali pula, maka seharusnya alam ini azali, meskipun keazaliannya kurang utama daripada keazalian Tuhan.

C. Incoherence of the Philosophers dan Incoherence of The Incoherence

Buku Incoherence of the Philosophers berisi sangahan Al Ghazali terhadap teori keabadian alam yang dikemukakan oleh filsuf sebelumnya. Al Ghazali menyanggah 4 poin terhadap filsuf-filsuf.

Poin pertama: Mengenai pernyataan bahwa dunia ini ada begitu saja.

Melalui pemahaman Aristotelian, setiap perubahan yang terjadi harus ditentukan oleh suatu sebab yang berada di luar dirinya. Hal ini tidak hanya berlaku untuk objek-objek fisik, tetapi juga berlaku untuk keadaan pikiran. Maka, jika Tuhan menginginkan suatu perubahan terjadi, maka beberapa sebab yang datang dari luar dirinya harus ikut mengatur atau menuntunnya kearah terwujudnya keputusan itu. Konsekuensinya, dunia harus kekal karena jika dunia tercipta dari ketiadaan (ex nihilo), muncul pertanyaan mengapa Tuhan mengizinkan adanya ketiadaan pra-adanya dunia dan mengapa Tuhan harus menunggu untuk membuat alam semesta. Menurut petunjuk Al Quran, Tuhan menciptakan segala sesuatu hanya dengan berkata “Jadilah, maka jadilah ia” (QS Ali Imran ayat 42). Jika Ia menginginkan adanya sesuatu, mengapa ia harus menunggu padahal Ia memiliki ke-mahakuasaan untuk memenuhi apapun yang ia mau.

Menurut Al Farabi: Jika yang menunda tindak pelaksanaan suatu perbuatan adalah suatu halangan bagi Tuhan, maka hal tersebut mengurangi ke-mahakuasaan Tuhan. Hal itu jelas tidak mungkin. Dengan begitu, Tuhan tidak menunggu untuk membuat alam semesta, yang berarti alam semesta bersifat kekal.

Para filsuf yang disanggah oleh Al Ghazali menganut emanasi Plotinos dimana model penciptaan melalui emanasi. Dunia ini terus-menerus terpancar dari Yang Satu. Maka hal itu akan berarti bahwa keberadaan sesuatu adalah tidak lebih lambat atau lebih akhir waktunya dari keberadaan Sang Pelaku (Sang Satu).

Sanggahan Al Ghazali:

Menurut Al Ghazali, teori semacam ini tidak koheren. Al Ghazali mengikuti teori kausalitas dimana Tuhan sudah merancang sebab-akibat dari segala sesuatu dan ciptaannya. Tuhan menggunakan tata aturannya sendiri dan mempunyai tujuan dari segala rancangannya karena kemauannya (iradat) mutlak. Iradat Tuhan bersifat mutlak dan terlepas dari ruang dan waktu, namun ciptaan Tuhan (dalam hal ini dunia) dapat ditangkap oleh akal manusia karena dunia terbatas dalam ruang dan waktu. Tuhan bersifat transeden, namun kemauan (iradat) Tuhan adalah immanent dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.

Poin Kedua:

Hakikat waktu adalah kekal. Berangkat dari premis-premis Aristoteles, waktu mengandaikan atau sebagai ukuran keberadaan gerakan atau adanya pergerakan. Dalam pengertiannya, “sekarang” merupakan perkelanjutan dari masa lalu yang masih terus bergerak. “Sekarang” merupakan akhir dari masa lalu namun merupakan awal dari masa depan. Maka, tidak mungkin ada “sekarang” yang pertama tanpa adanya waktu sebelum “sekarang” itu. Juga tidak ada “sekarang” yang terakhir dengan tidak ada waktu setelah “sekarang” itu. Dengan demikian, tidak ada awal maupun akhir dari waktu. Karena waktu itu kekal dan waktu merupakan pengandaian dan ukuran adanya pergerakan. Sedangkan dunia terus bergerak, maka kesimpulannya adalah dunia itu kekal.

Sanggahan Al Ghazali:

Waktu juga diciptakan dan sebelum itu tidak ada waktu sama sekali. Tuhan ada lebih dulu sebelum adanya dunia dan waktu dan tanpa keberadaan dunia dan waktu. Kemudian, Ia ada dan bersamanya ada dunia dan ada waktu tapi Tuhan terlepas dari dunia dan waktu itu sendiri.

Poin Ketiga:

Tentang Potensialitas. Alam semesta tidak diciptakan. Pada saat sebelum adanya alam semesta, yang ada hanyalah kemungkinan bahwa alam semesta itu ada. Dan harus selalu dalam keadaan mungkin karena sekarang alam semesta itu nyata. Dengan demikian, dunia ini kekal dan bukannya terbatas.

Sanggahan Al Ghazali:

Argumen ini adalah argumen yang ganjil. Segala sesuatu yang tidak rusak bersifat abadi karena yang jelas hal-hal seperti itu tidak akan pernah keluar atau masuk ke dalam wilayah keberadaan. Sesuatu yang ada itu pasti rusak. Dunia itu mungkin dan dia ada pada satu waktu. Jika dia ada pada satu waktu, dia harus ada pada setiap waktu sehingga dia tidak akan punah atau rusak. Ada dugaan tersembunyi (suatu prinsip tersembunyi) yang dalam argumen seperti itu dapat diterima

Poin Keempat:

Prinsip kelimpahan. Alam semesta sebagai totalitas yang tidak akan punah karena bagian-bagiannya terus berganti. Materi membutuhkan materi lain untuk menjadi ada. Perubahan hanya bisa mungkin jika materi membutuhkan bentuk-bentuk yang berbeda dan dengan demikian sesuatu yang baru pun timbul.

Sanggahan Al Ghazali:

Jika kemungkinan mengandaikan keberadaan suatu materi, maka akan menjadi mustahillah untuk dapat memahami sifat-sifat tertentu, katakanlah sebagai contoh, warna sebagai suatu hal yang munkin ketika mereka tidak dikaitkan dengan benda.

PENUTUP

Perang wacana antara Al Ghazali dengan Ibnu Rusyd mencerminkan munculnya pemikiran filosofis yang cukup serius dan berpengaruh luar biasa terhadap pemahaman manusia mengenai pandangannya terhadap konsep ketuhanan dan alam semesta, yang sebenarnya jika dikaji lebih kritis, juga merupakan ‘pukulan telak’ bagi seluruh umat Islam. Umat Islam dituntut memahami dan meningkatkan kemurnian keimanan, dalam usaha memecahkan banyaknya misteri kehidupan yang tidak dijelaskan secara gamblang dalam teks Al Qur’an ataupun Al Hadits.

Keduanya, Al Ghazali dan Ibnu Rusyd adalah para pemikir cerdas yang bersikap kritis dalam mencari hakikat hidup dan pengertian-pengertian yang mungkin dapat dipahami oleh akal budi manusia. Hanya saja memang, diantara keduanya terdapat kontroversi pemahaman. Perbedaan itu adalah berupa cara mereka memahami hal-hal metafisik untuk mencapai pengertian-pengertian yang bersifat adikodrati. Maksud Al Ghazali mengkritik pemikiran filsuf-filsuf sebelumnya adalah demi mempertahankan kemurnian agama Islam. Ia mencoba menunjukkan pada interpretasi teks dengan pertimbangan yang lebih gamblang. Artinya, segala informasi yang terkandung dalam teks Al Qur’an itu sudah sempurna, sudah bisa dipahami sebagai petunjuk hidup, dengan syarat mutlak harus memiliki keimanan yang paripurna.

Berbeda dengan Al ghazali, Ibnu Rusyd bermaksud mengadakan kompromi antara filsafat dan agama yang sepintas terlihat saling berlawanan satu sama lain. Ibnu Rusyd berusaha menjelaskan teori metafisika spekulatif para filsuf sebelumnya, juga menambahkan argument pribadinya, dalam menginterpretasi firman Tuhan. Ia mencoba menjelaskan kemungkinan-kemungkinan tentang sifat-sifat Tuhan dan alam ciptaanya menggunakan akal.

Biarpun diantara keduanya terdapat pertentangan dalam hal yang paling mendasar mengenai problem ketuhanan dan alam semesta, namun keduanya sama-sama memberikan kontribusi dan pelajaran berharga yang mampu diambil hikmahnya oleh manusia, baik sebagai muslim maupun bukan. Sintesa dari perdebatan mereka mengajarkan pada pentingnya menggunakan akal yang disertai keimanan yang kuat, dalam memahami masalah-masalah rumit yang metafisis spekulatif sepertihalnya problem ketuhanan dan alam semesta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline