Euforia Timnas Sepakbola Indonesia yang menyabet emas setelah 32 tahun dengan menjungkalkan Thailand memang masih terasa hingga hari ini. Mulai dari kedatangan yang disambut hingga arak-arakan dengan bus terbuka tentu adalah hal yang wajar bin pantas jika kita melihat bagaimana perjuangan mereka meraih emas di Kamboja lalu. Apik, heroik dan dramatis mungkin adalah sederet kata yang pantas untuk disematkan untuk perjuangan timnas kemarin.
Beberapa hari kemudian, Indonesia Vs Thailand kembali "adu jotos" di "lapangan hijau". Jika kita berhasil menang di lapangan hijau rumput, maka sebaliknya Thailand yang berhasil menjungkalkan Indonesia di lapangan hijau bulutangkis.
Revans Thailand Mulus
Melihat line up yang diturunkan, sebetulnya kekuatan Indonesia di berbagai sektor tidak begitu jauh berbeda, apalagi di tunggal putra. Tapi karena ini adalah pertandingan beregu campuran, maka pertandingan yang satu cukup menentukan untuk lanjut di pertandingan berikutnya.
Melihat urutan pertandingan, ganda putra dan ganda putri diletakkan di dua bagian akhir yang sepertinya akan dengan mudah dimenangkan Indonesia. Fajri si nomor 1 dunia dan Fadia/Apri di nomor 5 dunia tentu rasanya tidak begitu sulit untuk mengambil poin dari lawan manapun. Harapan Indonesia tentu saja bisa mengambil satu poin di 3 nomor awal yaitu tunggal putra dan putri serta di ganda campuran.
Sayangnya, Thailand seperti punya semangat lebih untuk revans atas kekalahan teman mereka di lapangan hijau dan dibuktikan dengan memenangkan 3 laga awal meski akhirnya sesuai prediksi, Thailand kalah di dua nomor terakhir ganda putra dan putri yang sudah takmenentukan lagi. Jadilah Thailand juara grup dan Indonesia runner-up
Blunder Indonesia dan Dominasi China
Jose Mourinho, Pelatih AS Roma, dalam sebuah konferensi pers jelang laga melawan Leverkusen di Semifinal Liga Europa pernah ditanya tentang peluangnya menjuarai Liga Europa. Jawabannya cukup sederhana waktu itu. "Aku tidak memikirkan hal itu. Yang aku pikirkan hanya pertandingan hari ini melawan Leverkusen".
Ya, ini adalah mindset tepat yang seharusnya dimiliki timnas bulutangkis Indonesia dalam menghadapi sebuah kejuaraan sekelas Piala Sudirman. Ya, seharusnya kita takperlu memikirkan babak perempat final seperti apa. Yang perlu dipikirkan dan dilakukan dengan maksimal adalah menurunkan pemain terbaik, dengan ranking terbaik tentunya, untuk pertandingan saat itu melawan Thailand agar menjadi juara grup.
Sayangnya, seolah-olah Indonesia sudah berpikir tentang perempat final hingga akhirnya menentukan line up seperti yang sudah kita saksikan bersama yang berujung dengan kekalahan. Tentu para pemain kita sudah memberikan yang terbaik yang mereka bisa, tapi tetap saja terbersit sedikit kekecewaan karena tidak bisa menjadi juara grup yang seharusnya berpotensi bertemu lawan yang "lebih ringan" di banding China yang seperti kita tahu akhirnya berhasil mengalahkan Indonesia dengan skor telak 3-0. Rasanya jalan cerita bisa berbeda jika Indonesia menjadi juara grup, lalu bertemu dengan lawan lain di perempatfinal. Potensi menang rasanya lebih besar.
Tapi terlepas dari itu semua, China memang masih terlihat superior dalam kejuaran beregu. Melihat Rinov/Gloria bisa menyulitkan ganda campuran China ranking 1 dunia Zheng/Huang rasanya cukup membuat kita bangga. Bahkan, pasangan dadakan ini hampir saja menjadi headline berita dunia ketika menang 21-13 di set pertama dan unggul hingga 18-13 di set kedua.
Tapi lagi-lagi, kematangan dan jam terbang membuat Zheng/Huang menang dramatis di set kedua dengan 23-21 sebelum akhirnya merebut game ketiga. Begitu juga dengan Ginting dan Jorgi yang bisa menyulitkan lawan-lawannya hingga adu setting di set pertama, meski akhirnya kalah dengan skor identik 20-22. Mereka juga kembali kalah dengan lawan masing-masing dengan skor identik di set kedua yaitu 14-21. Fajar/Rian yang sudah standby untuk menyumbang poin di partai keempat pun akhirnya takbermain karena skor sudah 3-0 untuk China dan mereka berhak masuk ke semifinal.