Lihat ke Halaman Asli

TauRa

TERVERIFIKASI

Rabbani Motivator, Penulis Buku Motivasi The New You dan GITA (God Is The Answer), Pembicara Publik

Manusia dan "Keterbatasan"

Diperbarui: 8 November 2021   21:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keterbatasan adalah pakaian setiap kita (suara.com)

Dalam sebuah sesi diskusi, seorang pengajar bertanya kepada murid-muridnya. "Coba sebutkan apa saja kelebihan yang kalian miliki..?" Seorang murid mulai menceritakan kelebihannya dalam bernyanyi, ada yang mahir berolahraga, ada yang bisa menirukan beragam suara, ada yang bisa sulap, ada lagi yang bisa beberapa tarian dan masih banyak lagi kelebihan yang ditampilkan.

Setelah dirasa puas dan cukup, guru tadi bertanya lagi, "Kalau begitu, coba sekarang sebutkan apa saja "keterbatasan" kalian dalam hal apapun..?". Mendadak kelas menjadi agak hening. Setiap orang seperti mulai berpikir serius tentang apa sih keterbatasan dirinya. Sepertinya setiap orang begitu sulit untuk menemukan keterbatasannya, hingga seorang murid memecah keheningan dan berkata. "Guru, "keterbatasanku" aku tidak bisa jawab, mungkin orang lain yang melihatku yang bisa menjawab.." Jawab siswa itu yang sepertinya cukup meyakinkan.

Manusia dan "Keterbatasan"

Coba bayangkan, hanya untuk menyebutkan "keterbatasan", terkadang banyak orang yang justru melemparkan penilaiannya ke orang lain. Seolah-olah penilaian orang lain itu lebih tepat dari perasaan kita terhadap keterbatasan yang kita miliki. Coba kita jujur-jujuran. Mana yang lebih banyak, kelebihan kita atau "keterbatasan" kita?

Mata kita terbatas untuk melihat, bahkan yang "hanya" berada di balik tembok rumah kita. Telinga kita terbatas untuk mendengar, bahkan kejadian yang ada di sebelah dinding rumah kita. Tangan, kaki, jidat, kepala, mulut, napas, apa lagi? Ya, semua itu punya keterbatasannya masing-masing. Itu masih sebagian kecil dari anggota tubuh kita. Saya tidak sanggup harus mengurai dari ujung kaki sampai ujung kepala. Ya, semua punya keterbatasannya masing-masing.

Masih ada? banyak. Perselisihan antar-teman, itu juga bukti keterbatasan masing-masing. Kesalahpahaman antar-karyawan, itu juga bukti keterbatasan. Orang yang menitipkan orangtuanya ke panti jompo, itu juga karena (alasan) keterbatasnnya. Bahkan, orang yang tidak mengirimkan orangtuanya ke panti jompopun, bisa jadi punya "keterbatasan" dalam sudut yang berbeda.

Ada lagi? masih banyak. Antara admin dan kompasianerpun punya keterbatasannya masing-masing. Antar-kompasianerpun punya keterbatasan masing-masing. Tulisan yang baguspun punya keterbatasan, sebagaimana tulisan yang (dianggap) belum baguspun punya keterbatasan. Orang kaya rayapun punya keterbatasan sebagaimana orang yang belum kaya juga punya keterbatasan dengan sudut yang berbeda.

Singkatnya, kita hidup dalam siklus keterbatasan karena memang kita adalah makhluk yang penuh keterbatasan. Lalu pertanyaannya, jika seseorang sudah mengerti situasi ini, masihkah seseorang akan mudah menyalahkan atau lebih mudah memaklumi? Ingat, mengetahui keterbatasan bukanlah tentang membongkar dan menjadikan keterbatasan itu alasan untuk tidak melakukan yang terbaik, bukan. Tapi justru sebaliknya. Semakin kita paham kalau setiap pribadi punya keterbatasan sebagaimana kita, maka kita akan mulai berpindah dan naik level menjadi pribadi yang tidak hanya pintar atau bahkan cerdas, tapi kita sudah naik ke level yang berbeda yaitu menjadi pribadi yang bijaksana. 

Semoga bermanfaat
Salam bahagia
Be the new you

TauRa
Rabbani Motivator

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline