Ketika akan menikah dulu, saya dan istri sepakat kalau tidak ada istilah "mertua" dalam keluarga yang akan kami bangun. Ya, mertua adalah orangtua dari pihak selain pihak kita. Tentu semua orang sudah paham hal itu.
Mengapa "mertua" itu kami anggap tidak ada dalam biduk rumah tangga yang kami bangun? adakah untung ruginya tidak menyematkan istilah "mertua" itu pada keluarga kami? apakah memang mungkin kalau kita menghapuskan istilah "mertua" itu padahal ia akan tetap selalu ada dalam kehidupan ini?
Ingat teman, tidak semua pertanyaan butuh jawaban, meski terkadang butuh penjelasan. Untuk sedikit mengupasnya, Markililede (mari kita lihat lebih dekat).
Mertua itu Tidak Ada
Ibuku sangat dekat dengan semua kakak dan adikku yang wanita. Jika belanja misalnya, siapa saja sering bergantian menemani ibuku. Tinggal pilih, hari ini ingin mengajak siapa, lusa siapa dan minggu depan siapa lagi. Singkatnya, semua orang tersedia dan pasti mau untuk diajak menemani ibuku dalam hal apapun, khususnya yang berkaitan dengan belanja di pasar atau lainnya.
Nah, ketika aku menikah, ibuku menjadi lebih sering pergi bersama istriku untuk belanja dan begitu seterusnya. Kedekatan mereka sungguh luar biasa. Ketika menginap di rumah orangtua misalnya, maka mereka tidak jarang ngobrol hingga larut malam hanya untuk sekadar menceritakan kenakalan kecilku dan lain sebagainya.
Ya, istri dan ibuku bukan seperti menantu dan mertua. Tapi mereka seperti ibu dan anak. Tidak ada sekat dan begitu akrab. Begitulah kami (aku dan istriku) sukses menanggalkan istilah mertua dalam kehidupan rumah tangga kami.
Nah, ketika kami pulang kampung ke rumah orangtua istriku, gantian, aku yang selalu menyupiri ibu (istriku) kemanapun dia pergi. Ke pasar, maunya bersamaku. Belanja, maunya bersamaku. Bahkan untuk menjenguk teman lamanya pun tetap memintaku ikut mengantar dan begitu seterusnya.
Di sore hari, ketika ingin minum air kelapa muda, aku bersama ayah (istriku) saling bekerja sama untuk menyiapkannya. Ketika akan pergi ke tempat peternakan ikan juga mengajakku dan begitu seterusnya. Istriku juga menganggap kalau aku dan orangtuanya seperti tidak ada sekat, sangat akrab, seperti orangtua dan anak.
Ya, dengan meyakini dan melakukan prinsip ini, maka alhamdulillah, kedua keluarga besar kami selalu rukun dan damai. Ingat, ketika kita mulai gemar mengkotak-kotakkan orang dengan istilah-istilah tertentu, maka perlakukan kita terhadapnya juga akan sesuai dengan yang kita istilahkan.
Jika kita mengkategorikan orangtua pihak seberang sebagai "mertua", maka jangan kaget kalau perlakuan kita terhadap mereka dan sebaliknya juga serasa ada jarak dan tidak akrab. Sehingga wajar banyak orang yang tidak betah tinggal di rumah mertuanya.