Kupang, 22/01/2023 Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nusa Tenggara Timur memberikan perhatian serius terkait dengan rencana investasi di sektor perikanan dan kelautan di Sumba Timur. Seperti di daerah lain di wilayah Indonesia bahwa sektor perikanan dan kelautan merupakan potensi yang perlu dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat. Namun, tidak semudah yang kita bayangkan jika pembangunan tambak udang modern abai terhadap daya dukung lingkungan.
Berdasarkan penelusuran WALHI NTT, Sakti Wahyu Trenggono selaku Menteri Kelautan dan Perikanan RI mengunjungi lokasi pembangunan tambak udang modern berbasis kawasan di Desa Palakahembi, kabupaten Sumba Timur. Oleh karena itu, WALHI NTT berharap bahwa pemerintah perlu menyiapkan road map yang tepat dalam merencanakan pembangunan tersebut, peta jalan (road map) ini bertujuan untuk menuntun kebijakan pembangunan di sektor perikanan dan kelautan serta melihat bagaimana memastikan keberlangsungan lingkungan di wilayah pesisir tetap lestari dan tidak mengabaikan hak hak rakyat. Untuk diketahui pembangunan tambak udang berada di wilayah pesisir, dekat dengan ekosistem mangrove serta pemukiman masyarakat yang selama ini sering mendapatkan ancaman kerusakan akibat pembangunan yang kurang memperhatikan daya dukukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Berdasarkan undang-undang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009 menegaskan bahwa segala jenis aktitivitas pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam wajib memperhatikan prinsip lingkungan hidup, hal ini untuk meminimalisir dampak negatif dari adanya pembangunan tambak udang di wilayah pesisir.
Mandat Undang-Undang No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pasal 36 yang menyebutkan semua usaha wajib memiliki izin lingkungan dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL), serta Pasal 67 dan pasal 69 yang berisi kewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan larangan merusak lingkungan.
Sejalan dengan hal tersebut dalam perencanaan tambak udang di kabupaten Sumba Timur perlu melibatkan masyarakat untuk mengetahui desain pembangunan serta apa dampak pembangunan tersebut. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) perlu melibatkan masyarakat, LSM, Tokoh adat, serta OPD terkait seperti Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan sangat berperan penting mengawal proses pembagunan tambak undang, hal ini berangkat dari pengalaman yang dijumpai WALHI NTT bahwa ada kecenderungan produk AMDAL yang ada justru diambil dari daerah lain (plagiasi) yang jenis usahanya sama dan seringkali tidak sesuai dengan karakteristik wilayah dan potensi. Oleh sebab itu, WALHI NTT memberikan peringatan (warning) kepada pemerintah pusat dan daerah untuk benar-benar menyusun AMDAL secara komperhensif serta memenuhi unsur partisipatif.
Perubahan Iklim
Dampak perubahan iklim yang terjadi di NTT hari ini merupakan akumulasi dari kebijakan pembangunan serta aktivitas manusia yang masih cenderung mengabaikan daya dukung lingkungan. Pembangunan di wilayah pesisir hari ini justru menimbulkan berbagai krisis lingkungan seperti rusaknya kawasan mangrove. Pengalaman bencana tahun 2021 silam menjadi pelajaran penting bagi pemerintah untuk serius melihat isu perubahan iklim dari sisi kebijakan pembangunan yang ramah terhadap lingkungan.
Melansir Victorynesw.com pembangunan tambak udang modern berbasis kawasan dengan perkiraan luasan lahan 1.500 Ha dengan target produksi 72.000 ton yang terletak di desa Palakahembi menjadi perhatian semua pihak khususnya WALHI NTT yang selama ini konsen di isu lingkungan hidup.
Seperti kasus yang terjadi di Desa Merdeka Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur yang juga dibangun tambak udang pada tahun 2019 namun banyak menuai persoalan terkait dengan izin lahan, kelestarian lingkungan serta pihak perusahaan yang melakukan aktivitas tanpa mengantongi AMDAL.
Selain itu juga, proyek besar yang di duga gagal di NTT terkait dengan budidaya ikan kerapu di teluk Waekalabu, kecamatan Riung, kabupaten Ngada, NTT dengan nilai investasi 7,8 miliar yang dilakukan oleh DKP menuai kegagalan dalam tata Kelola. Artinya bahwa praktik pengembangan perikanan dan kelautan di NTT belum berbasis pada masyarakat.