Lihat ke Halaman Asli

Pemilu 2024 dan Politik Keadilan Iklim

Diperbarui: 25 Desember 2022   09:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tahapan pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sudah di depan mata para pelaksana atau penyelenggara pemilu telah mempersiapkan agenda pesta demokrasi. Situasi pesta demokrasi 2024 saat ini diwarnai dengan krisis iklim global yang mempengaruhi seluruh sistem sosial, ekonomi, budaya dan politik di Indonesia. 

Apakah krisis iklim yang terjadi memiliki benang merah dengan pelaksanaan demokrasi kita? Tentu ada karena krisis iklim yang terjadi banyak dipengaruhi aktivitas manusia yang dipayungi oleh kebijakan yang tidak mendukung alam. Kebijakan yang tidak ramah terhadap alam ini di antaranya dibentuk oleh para pemimpin yang lahir melalui sistem demokrasi kita yaitu pemilu dan pilkada.

Melihat sejarah pemilu sejak tahun 1955 bangsa Indonesia diperhadapkan pada situasi pasang surut dalam merumuskan konsep pembangunan yang adil, sejahtera dan berkelanjutan. Namun, ada sejumlah pekerjaan besar selain menjalankan pesta demokrasi yang perlu dibangun yaitu bagaimana mewujudkan pemilu yang melahirkan pemimpin berwawasan lingkungan.

Pidato Presiden Jokowi pada KTT Pemimpin Dunia tentang perubahan iklim atau COP26 yang dilaksanakan pada 1 November 2021 di Glasgow menegaskan komitmen Indonesia dalam membantu menangani perubahan iklim. Dalam pidatonya ia mengatakan, "dengan potensi alam yang begitu besar, Indonesia terus berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim. Laju deforestasi turun signifikan, terendah dalam 20 tahun terakhir.

Namun, UU 11/2020 tentang Cipta Kerja malah menjadi salah satu aturan yang tidak mendukung terhadap lingkungan hidup. Dengan dalih menggenjot pertumbuhan ekonomi undang-undang sapu jagat ini memuat upaya percepatan pertumbuhan ekonomi yang banyak mengorbankan kepentingan lingkungan hidup bahkan HAM.

Komitmen pemerintah dalam menekan laju perubahan iklim memang belum begitu membawa sebuah perubahan besar dalam konteks lingkungan hidup. Pasalnya,   masih banyak produk kebijakan pemerintah justru melanggengkan laju deforestasi di Indonesia. Jika menelaah lebih jauh kita bisa melihat bagaimana produk kebijakan UU Cipta Kerja yang membatasi organisasi lingkungan hidup berpartisipasi dalam penyusunan AMDAL.

Emil Salim salah seorang pelopor pembangunan berkelanjutan menilai bahwa selama ini konsep pembangunan berkelanjutan tidak dijalankan. "Masalah pokoknya, pembangunan mengandalkan pasar dan pasar tidak menangkap isyarat sosial dan lingkungan hidup." Pada akhirnya masyarakat kecil tidak mendapatkan keuntungan yang sepadan dan perubahan iklim di bumi menjadi semakin parah.

Berangkat dari persoalan krisis iklim global hari ini yang dihadapi Indonesia, sudah sepantasnya pesta demokrasi 2024 khususnya bagi penyelenggara pemilu (KPU) harus mengisi hal-hal kontekstual dalam ruang debat visi misi seperti isu perubahan iklim

Hal ini penting dilakukan guna mengakomodir persoalan rakyat yang  terdampak perubahan iklim.  Sejauh ini ada ketimpangan di level implementasi kebijakan di sektor lingkungan hidup yang sukar diselesaikan pemerintah.

Pembaangunan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seperti industry pariwisata, tambang mengakibatkan krisis ekologi di NTT.  Maka, penting sekali kebijakan di evaluasi sehingga tidak menimbulkan bencana ekologi di masa depan.

Oleh karena itu, WALHI NTT menegaskan kembali bahwa seluruh ekosistem ekonomi dan politik harus mengakomodir kepentingan ekologi. Artinya bahwa gerak dan arah pembangunan bukan hanya dilihat dari sisi kebijakan politik dan ekonomi akan tetapi perlu dilihat juga bagaimana peran lingkungan dan sumber daya alam yang ada menjadi dasar perumusan kebijakan pembangunan ramah lingkungan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline