G20 dan Krisis iklim
#LawanSolusiPalsu
Tahun 2022 akan diselenggarakan G20 yang berlokasi di Pulau Bali. Salah satu agenda besar dalam G20 nanti adalah terkait dengan transisi energi berkelanjutan yang selama ini di gadang-gadang oleh pemerintah bagaimana menggunakan energi bersih melawan energi kotor batu bara. Namun, situasi hari ini tidak sesuai dengan agenda besar para pemimpin dunia untuk benar-benar berkomitmen menekan laju perubahan iklim.
Pasalnya negara-negara maju sebagai negara yang berkontribusi merusak lingkungan lewat berbagai kegiatan industry di negara berkembang justru masih melakukan ekspansi pengerukan SDA yang berdampak pada krisis iklim. Hal ini membuat situasi semakin sulit dan yang merasakan dampak secara langsung adalah kelompok nelayan dan warga pesisir.
Masifnya industry ekstraktif yang di dukung oleh negara Eropa sejauh ini telah memberikan dampak buruk bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia yang mengalmi krisis lingkungan. Alih fungsi hutan untuk kepentingan indusrty tambang saat ini menghasilkan dampak negatif baik kehidupan sosial, budaya dan ekonomi.
Nusa Tenggara Timur mengahadapi peesoalan perubahan iklim, rusaknya kawasan mangrove di wilayah pesisir NTT akibat alih fungsi hutan mangrove untuk kepentingam industry membuat sebagian nelayan mengalihkan profesinya. Hal ini sangat berdampak langsung bagi ekonomi. Selain itu, ancaman terbesarnya adalah bencana alam.
#WalhiNTT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H