Konyol. Begitu sebagian orang menilai langkah KPU terkini. Langkah KPU terkait kebijakannya membocorkan soal debat ke tiap kandidat pasangan calon yang berlaga di Pilpres 2019 berbuah cibiran.
Langkah terakhir ini seolah melengkapi berbagai kebijakan lainnya yang membuat publik mengernyitkan dahi. Sebut saja kebijakan yang membolehkan orang gila ikut memilih di Pilpres. Lalu, tentang keputusan menggunakan kotak suara berbahan kardus (walau memiliki alasan cukup valid karena diperkuat UU) juga membuat orang heran. Langkah lainnya yaitu membatalkan penjabaran visi dan misi oleh tiap paslon.
Banyak orang menilai bahwa langkah-langkah KPU ini menunjukkan keberpihakannya kepada pemerintah (petahana). Namun sebenarnya, langkah ini justru berbahaya bagi petahana. Ini jelas merugikan Jokowi karena dianggap sebagai sebuah kemunduran bagi demokrasi. Selain itu, jelas mendegradasikan martabat KPU di mata masyarakat. Bahkan, kalau boleh dibilang kredibilitas KPU sudah rendah untuk saat ini.
Sepertinya langkah KPU ini menjadi preseden buruk pelaksanaan demokrasi di Indonesia, bahkan dunia. Karena, disinyalir pemberian kisi-kisi materi debat kepada pasangan capres dan cawapres belum pernah terjadi sebelumnya di dunia.
Lebih mudah dibanding lulus ujian nasional
Sebagai bayangan perbandingan, tiap tahun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengadakan ujian nasional (UN). Ini merupakan syarat wajib bagi siswa yang ingin menempuh pendidikan ke jenjang berikutnya. Bahkan, para siswa terdampak bencana (contoh: bencana gempa Lombok) pun tetap wajib ikut UN dengan berbagai dispensasinya. Jangan coba-coba bermain curang untuk lulus UN ini. Hanya sekedar mencari kisi-kisi, bocoran soal sampai dengan bocoran jawaban bisa berakibat fatal. Kemendikbud tidak segan-segan memberikan sanksi tegas kepada para pelaku yang tertangkap. Bahkan bisa sampai diproses hukum.
Nah, sebenarnya proses debat Capres dan Cawapres adalah ujian yang harus dilalui oleh pasangan calon untuk mendapatkan "kelulusan" dari masyarakat. Bentuk kelulusan ini berupa kepercayaan sehingga rakyat tidak segan-segan memilih paslon yang dianggap mumpuni. Lalu, jika kedua pihak sudah mendapatkan kisi-kisi dan sudah tahu apa yang akan menjadi bahan pertanyaan serta menyiapkan jawabannya, debat pun kehilangan esensinya.
KPU harus jaga kepercayaan
Sebenarnya, KPU telah memberikan penjelasan terkait pemberian kisi-kisi di media sosial. Namun, hal tersebut tidak menjadikan penilaian masyarakat terhadap lembaga ini membaik. Bahkan terungkap kalau ternyata kedua pihak sudah saling setuju terkait hal ini. Seharusnya, KPU sebagai lembaga bermartabat harus menjaga level kepercayaannya di masyarakat. Seperti menetapkan kebijakan yang wajib dipatuhi tanpa harus saling memberi ruang negosiasi dari kedua belah pihak. KPU sejatinya adalah wasit ajang pemilihan demokrasi terbesar di negeri ini. Kalau aturan pun dapat dinegosiasikan antara wasit dan pemain, ini ibarat pasar dimana terjadi tawar-menawar antara penjual dan pembeli.
Seharusnya debat capres (dan juga penjabaran visi-misi) menjadi ajang sosialisasi program di masyarakat. Debat Capres dan penjabaran visi-misi juga menjadi sarana bagi KPU mendidik dan mendewasakan masyarakat secara politik. Bahwa memilih paslon, atau pun parpol karena "isi", karena program yang ditawarkan, bukan karena pencitraan kosong belaka. Saat ini, dahaga masyarakat yang sudah haus akan "isi' belum terjawab dan terpenuhi. (#)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H