Lihat ke Halaman Asli

Buzzer Politik: Faktor Terbesar Masih Adanya Black Campaign di Indonesia

Diperbarui: 10 Januari 2024   19:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dari judul pembahasan yang saya angkat sudah sangat terlihat jelas bahwa adanya sebuah
masalah besar yang dihadapi kehidupan politik Indonesia, mengapa saya bilang masalah
besar? karena memang sering kita saksikan atau lihat di berbagai media sosial masih begitu
banyak berita-berita hoax yang bertebaran bertemakan politik. Apalagi pasa saat sekarang ini,
yang mana merupakan waktunya para bacaleg, caleg, capres, cawapres atau yang sering dibilang
para “pengemis suara rakyat” melakukan kampanye guna menyakinan para pemilih agar
memilihnya dalam kegiatan pemungutan suara februari nanti. Biasanya para buzzer politik ini
akan menyebarkan fitnah-fitnah atau hoax terhadap lawan politik “jagoannya”, yang mana dalam
berita yang disebarkan itu tidak ada landasan bukti yang kuat hanya dengan asumsi mereka saja.
Sehingga hal tersebut merupakan sebuah pelanggaran dan bisa dibilang bahwa itu merupakan
tindakan kriminal yang menyangkut pencemaran nama baik di media sosial selain dalam KUHP
juga dapat merujuk pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE jo. Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016 yang
mengatur setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dipidana penjara
paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta.
Selain pencemaran nama baik para buzzer ini biasanya juga menyebarkan informasi yang
bersifat menimbulkan kebencian atau sara terhadap suatu pihak, dalam hal ini diatur dalam Pasal
28 ayat (2) UU ITE jo. Pasal 45A ayat (2) UU 19/2016, yaitu setiap orang dengan sengaja dan
tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras,
dan antar golongan (SARA) dipidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1 miliar.
Untuk memperdalam apa saja yang dilakukan buzzer politik dalam melakukan black
campaign mari kita telisik lebih dalam apa itu buzzer politik. Istilah buzzer dalam Oxford
Dictionary dimaknai sebagai “an electric mechanism for producing an intermittent current and a
buzzing sound or series of sounds; used chiefly as  call or signal. Apabila diterjemahkan secara
bebas, arti buzzer adalah perangkat elektronik yang digunakan untuk membunyikan dengungan
untuk menyebarkan sinyal atau tanda tertentu. Buzzer adalah individu yang menyebarluaskan,
mengkampanyekan, atau mendengungkan suatu pesan atau konten tertentu. Umumnya buzzer
beroperasi menggunakan akun-akun palsu dan anonim. Dalam konteks politik, buzzer
mendengungkan narasi yang diinginkan oleh pembayarnya. Selain itu, buzzer juga dapat berupa
seseorang yang memiliki opini yang didengarkan, dipercaya, dan membuat orang lain bereaksi
setelah mengetahui opini tersebut. Dapat pula diartikan bahwa buzzer adalah pengguna media
sosial yang bisa memberikan pengaruh kepada orang lain hanya melalui pesan yang di-posting di
timeline seperti kalimat, gambar, atau video.
Meskipun memiliki kesan yang negatif, namun sebenarnya buzzer juga tetap memiliki
dampak positif yakni dapat menguntungkan bagi orang-orang yang sudah mengetahui setting
agendanya sebagai seorang user. Jika untuk perusahaan, tentu saja buzzer dapat meningkatkan
brand awareness sebuah produk. Namun jika berkaitan dengan isu politik, maka buzzer akan
menjadi serangan yang berdampak cukup besar.
Namun ketika buzzer sudah berada diranah politik maka akan memiliki arti yaitu buzzer
yang berfungsi membentuk opini publik selama kampanye politik dan dukungan bagi calon
pemimpin. Tak jarang, pesan yang didengungkan oleh buzzer di media sosial untuk kampanye
politik memuat, berita hoaks kampanye hitam atau black campaign, dan sebagainya dengan
tujuan untuk menjatuhkan lawan politik. Buzzer politik sebagai bagian dari elemen demokrasi di
era digital memiliki kontribusi positif dan negatif dalam struktur sosial masyarakat apabila
dilihat dari beberapa kasus di atas. Hal ini sesuai dengan pemodelan peran sosial George Terry
yang dimiliki masing-masing individu dalam dinamika sosial politik. Peran menentukan status
seseorang. Peran akan menentukan cara berpikir, motivasi, persepsi dan eksekusi. Peran sosial
akan melahirkan hak dan kewajiban dalam struktur sosial. Karena peran buzzer sangat strategi
menentukan polarisasi konstituen politik masa maka mereka pun bekerja sangat sistematis dan
memiliki manajemen koordinasi yang baik. Koordinasi adalah mekanisme mengarahkan sumber
daya pada posisi dan peran yang telah ditentukan dengan sistematis. Koordinasi ini bisa bersifat
vertikal yang artinya diberikan langsung oleh atas atau secara horizontal yang diberikan oleh
sesame organisasi yang memiliki peran dan tujuan yang sama. Artinya peran dan koordinasi
tidak bisa dipisahkan karena aktivitas tersebut adalah peristiwa sosiologis yang selalu dimainkan
oleh manusia. Berikut adalah pemodelan logika sosial berdasarkan persepsi, identitas dan
perilaku, medium dan ekspektasi atau target.
1
Media sosial juga merupakan media yang paling efektif digunakan oleh buzzer politik.
Hampir semua keberhasilan pemasaran baik umum maupun politik jaman sekarang salah satunya
karena menggunakan media sosial. Karakteristiknya yang unik menjangkau banyak followers
dan berjejaring memudahkan media ini digunakan oleh para buzzer untuk melakukan pemasaran.
Kehadiran buzzer sebagai salah satu aktor kunci dalam pemasaran politik di media sosial ini
 
1 Putra Airiandi. Peran Buzzer Politik dalam Dinamika Jelang Pemilu Tahun 2024, Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i,
Vol 10, No 4, Tahun 2023, Hlm 1149

tidak dapat dipandang sebelah mata. Karena dalam sejarahnya khusus di Indonesia, peran buzzer
menjadi sangat penting dalam mengantar pasangan calon pemimpin bangsa menjadi pemenang
sekaligus mengalahkan pasangan lain. Kondisi ini semakin diperparah karena belum adanya
aturan yang khusus mengatur tentang cara kerja buzzer politik jika melanggar aturan karena
kegiatan kampanye negatif tadi. Ini juga disebabkan para buzzer ini sebagian besar memiliki
akun anonim (akun siluman) yang merahasiakan identitas mereka. Sehingga sulit juga aparat
penegak hukum untuk melacak keberadaan mereka. Meski bisa saja, para pelakunya di jerat
dengan menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Surat Edaran tentang
Ujaran Kebencian atau Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang larangan menyebarkan
kampanye negatif.2
Setelah kita mengetahi apa itu buzzer politik, selanjutnya kita juga harus paham juga apa
itu black campaign dan contoh-contohnya. Black campaign atau yang juga dikenal sebagai
kampanye hitam biasanya merujuk kepada suatu aktivitas yang bertujuan untuk menjatuhkan
suatu pihak dalam penyelenggaraan Pemilu. Menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017
dalam pasal 280, pengertian dari black campaign bisa merujuk kepada aktivitas yang menghina
seseorang, agama, ras, golongan, calon dan peserta Pemilu lainnya. Selain itu, black campaign
juga bisa menimbulkan hasutan dan adu domba bagi perorangan maupun masyarakat. Dilansir
dari laman Fakultas Hukum Universitas Indonesia, black campaign ini biasanya dilakukan lewat
berbagai media, mulai dari media cetak hingga media sosial. Masing-masing media ini
digunakan untuk menyebarkan informasi negatif yang ditujukan terhadap pihak lawan. Black
campaign tidak hanya bisa dilakukan oleh tim sukses setiap bakal calon, namun juga dapat
disebarkan melalui masing-masing simpatisan.
Ada perbedaan antara kampanye hitam dengan kampanye negative. Kampanye hitam
yaitu suatu tuduhan atau presepsi yang tidak berdasarkan fakta atau fitnah menyangkut
kekurang suatu calon kepala daerah atau partai untuk menarik suara untuk memenangkan
pemilu, sedangkan kampanye negatif adalah kampanye tuduhan presepsi yang berdasarkan fakta
yang disampaikan secara jujur dan relevan yang menyangkut kekurang suatu calon kepala daerah
atau partai. Kampanye negatif memang dianggap sah-sah saja terjadi di Indonesia mengingat
masyarakat Indonesia mencari pemimpin yang sangat berkualitas dalam sebuah pemilu.Tujuan
kampanye hitam dan kampanye negatif memang sama yaitu menarik suara untuk memenangkan
pemilihan yang berlangsung tetapi ada sedikit perbedaan antara yaitu bahan atau isi tuduhannya.
Kampanye hitam (black campaign) sudah menjadi tren sejak pelaksanaan kampanye
pemilu tahun 2014 dan Pemilu DKI tahun 2017. Pada saat itu, media sosial diramaikan dengan
konten yang berisikan isu-isu fitnah, bohong, adu domba, penghinaan, dan lain-lain untuk
menjatuhkan citra lawan politik. Kampanye hitam (black campaign) juga terjadi pada Pemilu
2019. Pelaksanaan Pemilu 2019 telah selesai, akan tetapi sampai saat ini masih banyak terjadi
 
2
Juditha Cristiany. Buzzer di Media Sosial Pada Pilkada dan Pemilu Indonesia, Prosiding Seminar Nasional
Komunikasi dan Informatika, No 3 Tahun 2019, Hlm 210-211

kampanye hitam (black campaign) di media sosial. Pada saat Pemilu 2019, kampanye hitam
(black campaign) sudah mulai beredar di media sosial sebelum dilaksanakannya tahapan
kampanye Pemilu. Kampanye hitam (black campaign) di media sosial berisikan isu SARA,
pelanggaran HAM, penghinaan, dan lain-lain beredar di media sosial. Oknum yang mendukung
dari kedua belah pihak pasangan calon pada Pilpres 2019 mulai melakukan kampanye hitam
(black campaign) kepada lawan politiknya. Para pendukung memiliki sebutan masing-masing
pasangan calon pilpres pada saat berlangsungnya Pemilu 2019. Pendukung Calon Presiden
nomor urut 01 disebut dengan cebong, sedangkan pendukung Calon Presiden nomor urut 02
disebut dengan kampret.3
Untuk bisa kita mengatasi black campaign oleh para buzzer politik di sosial media, ada beberapa
hal yang bisa lakukan diantaranya:
1. Literasi Media Literasi, media menjadi salah satu modal bagi masyarakat untuk
menggunakan media sosial. Literasi media dipergunakan untuk melakukan analisa
mengenai isi atau konten yang ada pada media sosial. Selain itu, budaya membaca,
memeriksa, dan menganalisa menjadi penting dalam penggunaan media sosial. Hobs
dalam National Leadership Conference on Media Education sebagaimana disadur oleh
Juditha mengatakan bahwa literasi media adalah kemampuan untuk mengakses,
menganalisis, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan pesan dalam berbagai bentuknya.
2. Kerja Sama Antar-Lembaga, Sifat internet yang terbuka di ruang maya dapat diakses oleh
siapapun menjadi sulit untuk di kendalikan. Oleh karena itu, penanggulangan kampanye
hitam (black campaign) di media sosial tidak bisa dikerjakan oleh satu lembaga saja. Hal
ini memerlukan adanya kerja sama antar-lembaga negara untuk mengendalikan apa yang
terdapat dalam dunia maya tersebut, termasuk penegakan hukumnya.4
Aktivitas kampanye yang menyudutkan pihak lawan dengan dasar ujaran kebencian,
isu sara, dan hoaks justru hanya mengarah pada tindakan kampanye hitam (black
campaign). Jika persoalan tersebut tidak diselesaikan, maka pesta demokrasi (pilkada dan
pemilu) yang seharusnya dirayakan justru hanya akan mengarah pada permusuhan dan
perpecahan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan ialah dengan upaya penal dan nonpenal sebagai wujud dari kebijakan kriminal. Upaya penal melalui kodifikasi atau modifikasi
aturan terkait media sosial (kebijakan legislatif), meningkatkan koordinasi antar
lembaga dibidang kepemiluan dan teknologi (kebijakan yudikatif), serta memilih model
eksekusi yang tepat (misal blokir atau hapus konten) jika terjadi kampanye hitam di media
sosial (kebijakan eksekutif). Sementara upaya non-penal dapat dimaksimalkan dengan cara
sosialisasi dan edukasi sebagai langkah pencegahan dalam mengatasi praktek kampanye hitam di
media sosial kedepan.
 
3 Doly Denico. Penegakan Hukum Kampanye Hitam (Black Campaign) di Media Sosial, Jurnal Kajian, Vol 25, No 1,
Tahun 2020, Hlm 6
4
Ibid. Doly Denico, Hlm 13-14
Dengan kita sudah mengetahui apa itu buzzer politik dan black campaign sudah
sepatasnya kita makin mengerti bahwa kita sebagai warga negara yang baik haruslah bijak dalam
mengolah beriata yang kita dapat dari berbagai sumber, khususnya dari media sosial. Meskipun
kerja buzzer yang semakin masif pada Pilkada maupun Pemilu baik secara positif maupun
negatif, masyarakat tetaplah harus memiliki pendirian dalam menetapkan pasangan calon yang
diinginkan. Masyarakat seharusnya tidak terpengaruh dan langsung percaya dengan pesan-pesan
buzzer yang cenderung menjatuhkan pasangan calon tertentu yang pada akhirnya terlibat dalam
konflik antar pendukung calon pasangan yang berkepanjangan di media sosial. Apalagi hingga
terlibat dalam pertikaian dengan menggunakan ujaran kebencian dan membantu penyebaran
hoax dan isu SARA yang menjantuhkan pasangan calon lainnya. Mari menjadi pemilih dan
pendukung yang bijak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline