Lihat ke Halaman Asli

Menengok Kembali Penghapusan Pasal Pidana Penghinaan terhadap Presiden

Diperbarui: 10 Juni 2021   09:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

MENENGOK KEMBALI PENGAHAPUSAN 

PASAL PIDANA PENGHINAAN TERHADAP PRESIDEN.

Taufiqurrohman Syahuri

Dosen Fakultas Hukum UPN Veteran Jakarta

Pendahuluan

Ketentuan norma hukum penghinaan presiden dan wakil presiden kembali muncul dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Dalam draf RUU KUHP terbaru itu, penghinaan terhadap martabat presiden/wapres dikenai ancaman maksimal 3,5 tahun penjara. Bila penghinaan itu dilakukan lewat media sosial atau sarana elektronik, ancamannya diperberat menjadi 4,5 tahun penjara[1]. Padahal pada tahun 2006 norma hukum penghinaan presiden itu sudah dinyatakan tidak berlaku karena bertentangan dengan UUD 1945 oleh Putusan MK 013-022/PUU-IV/2006. Untuk memahami alasan penghapusan pasal penginaan presiden ini perlu ditengok kembali alasan hukum terutama dari sisi konstitusionalnya yang melatar belakangi penghapusan pasal tersebut.

Untuk melihat sisi konstitusionalitas pasal-pasal KUHP yang dimohonkan Pemohon, perlu terlebih dahulu mengetahui substansi pasal-pasal tersebut, baru kemudian dianalis berdasarkan Pasal-pasal dalam UUD 1945 yang ditunjuk oleh Pemohon. Pengkajian konstitusionalitas terhadap pasal-pasal KUHP tersebut akan dilakukan tidak semata-mata dilihat dari sisi pengertian muatan meteri pasal-perpasal dalam UUD 1945 melainkan juga akan dilihat dari sisi jiwa dan semangat munculnya pasal-pasal UUD 1945 terutama hasil amandemen. Metode demikian cocok dengan pandangan Penjelasan Umum UUD 1945 (Proklamasi), yang menyebutkan:

 "memang untuk menyelidiki hukum dasar (droit constitutionel) suatu negara, tidak cukup hanya menyelediki pasal-pasal Undang-Undang Dasarnya (loi constititionelle) saja, akan tetapi harus menyelidiki juga bagaimana prakteknya dan bagaimana suasana kebatinannya (geistlichen Hintergrund) dari Undang-Undang Dasar itu".

Tanpa menggunakan pendekatan metode ini, maka pengujian konstitusional Pasal 134, 136 bis, 137 KUHP tidak akan ada artinya, sulit untuk dibuktikan sisi konstitusionalitas atas pasal-pasal KUHP terebut, sungguhpun dari sisi sejarah hukum jelas ada perbedaan. Kita akan mengatakan bahwa di beberapa negara, ada juga norma hukum yang melarang penghinaan terhadap presiden atau kepala negara, atau raja, terlepas dari ada pengaduan atau tidak. 

Lalu apa sisi konstitusionalnya terhadap pasal penghinaan dalam KUHP. Bukankah ditinjau dari sisi prosedur pembentukannya sudah sesuai dengan konstitusi? Agar kita tidak terjebak pada pemahaman demikian, maka kita perlu mengkaji pasal penghinaan aquo dari sisi penerapannya (baca: penafsiran) oleh penguasa. Ini bukan berarti semata-mata soal penerapan pasal aquo, karena hal ini bisa di luar kewenangan Mahkamah. 

Namun demikian, disadari bahwa rumusan pasal-pasal akan menjadi "tidur" kalau tidak pernah diterapkan dalam praktek. Untuk mengetahui penafsiran sebenarnya dari sebuah pasal, tidak bisa lepas dari sisi penerapannya. Sebagai contoh, Pasal 7 UUD 1945 (lama) yang mengatakan, "presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali". 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline