Lihat ke Halaman Asli

Taufiq Sudjana

Menulis adalah kegiatan lain di sela pekerjaan di sebuah sekolah swasta di Kota Bogor.

Menjaga Rasa Menghargai Karya

Diperbarui: 29 Mei 2021   04:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Atlantis. (Foto: Wikimedia Commons) 

Otakku sedang nakal. Pikiranku menerjemahkan topik "Dari Rasa, Jadi Karya" ini membawa pada sebuah momen lain. Ketika seseorang memiliki rasa suka, kemudian jatuh cinta. Jika kemudian rasa cinta itu dibalut kesetiaan, maka akan berujung di pelaminan.

Dari sebuah pernikahan, mengawali kembali rasa. Perasaan sayang yang hadir menyalami pasangan suami istri. Di tengah itu hadir perasaan manusiawi, naluri paling purba dan merupakan kondisi paling natural dari makhluk-makhluk Tuhan yang diciptakan berpasangan. Fitrah ini bukan hanya milik suami istri. Sudah ditakdirkan pria menyukai wanita, dan begitu sebaliknya perempuan menyukai laki-laki. Namun ajaran agama kita tidak membenarkan berbagi rasa dengan orang yang bukan pasangan sah.

Lantas, apa yang lahir? Adalah karya terbaru dari generasi manusia. Karya genetik melalui proses perkawinan. Perpaduan jiwa dan raga yang saling mencinta, penyatuan sel sperma dan ovum, berkembang menjadi janin. Mahakarya Sang Pencipta pun lahir ketika ruh sudah ditiupkan dan mencukupi masa kandungan.

Sosok bayi lahir dari rasa yang menggelora. Sebuah karya terbentuk dari genetik orang tuanya. Lambat laun tampak akan mirip rupa ayahnya atau ibunya, mungkin pula perpaduan itu membentuk rupa blasteran ayah dan ibunya. Secara logika tidak mungkin anak itu mirip orang lain.

Pertumbuhan manusia terus mengalami perubahan seiring perkembangan jasmani dan rohaninya. Perkembangan ini akan membentuk struktur tubuh serta karakter orang itu. Dalam kisah hidupnya, ia akan bersentuhan dengan dunia lain, dunia luar selain lingkungan keluarga dan saudaranya. Maka lahirlah sebuah karakter manusia hasil dari pendidikan, pergaulan, dan berbagai faktor lain yang saling terkait mempengaruhi sifat dan karakternya.

Sekira ada 7,7 milyar manusia penghuni bumi pada tahun 2020. Manusia-manusia yang memiliki cita rasa yang sama, mirip, berbeda, bahkan bertolak belakang sama sekali. Kondisi geografis, ekonomi, sosial, budaya, bahkan agama yang sering disebut dominan di samping politik mempengaruhi pembentukan sepak terjang seseorang. Masa yang memanjang sejak manusia pertama diciptakan, melahirkan karya-karya peradaban di berbagai belahan dunia. Dari cita rasa seni, budaya, perpaduan kultur, hingga inovasi teknologi berkembang hingga kini.

Secuil karya yang kita cipta dari rasa kesukaan terhadap sebuah hobi, adalah sesuatu yang tidak sepatutnya kita abaikan begitu saja. Pupuklah sebagaimana mestinya, karena tidak mustahil akan melahirkan karya-karya besar. Namun, jangan sekali-kali memupuk rasa kebencian, iri hati, dengki, hingga permusuhan akan mencabik rasa damai di bumi ini. Jika itu terjadi maka tunggulah kehancuran karya-karya agung di seluruh penjuru dunia ini. Selain faktor alam, ulah manusia adalah penyebab dari segala kerusakan yang terjadi.

Menjaga rasa, berarti menjaga karya. Karena dari setiap upaya mengolah rasa, akan selalu melahirkan karya. Ada filosofi adiluhung kearifan lokal bangsa kita yang dikenal dalam empat kata "Rasa-Karsa-Cipta-Karya". Bagi siapa pun yang berpedoman pada filosofi ini tentu akan terus mengalami siklus kreatif dalam hidupnya. Apa pun bentuknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline