Belajar kita yang formal membentuk citra kita yang komunal. Terbalut dalam embel embel segala macam persepsi dan kepentingan nilai sosial. Entah itu baik atau buruk. Itu tergantung citra superioritas. Hegemoni akan memberi pengaruh dan warna tergantung kandungan falsafahnya.
Falsafah benda dan objektifitas industri telah membentuk ruang ruang belajar yang menjadikan kita mesin. Atau berupaya menolak menjadi mesin dalam mekanisasi penolakan kebenaran. Hingga di ambang sinkretisme dan nihilisme.
Modernisme dan pasca dari itu adalah buah dari pikiran pikiran menjadi diri sendiri yang merasa gagah dengan akal semata. Padahal akal pun memiliki ruamg batasan. Akal akan kehilangan otentitasnya juga dan membangun subjektifitas yang baru.
Sehingga menjadi otentik adalah pencarian terus menerus dari rangkaian dialektika peristiwa dan makna yang dalam dan detil.
Yaitu dengan satu kalimat yang sama (kalimat sawa') untuk mencapai ambang kebenaran dari kemurnian sejarah risalah nabi nabi. Tanpa mengesampingkan kehendak bebas dan daya kreasi yang bergerak dinamis dengan latar pengalaman pengalaman intens.
Sebab menjadi otentik hanya dengan dua jalan dari jalan yang tersedia. Lewat jalan redah-hina atau jalan tinggi-mulia. Keduanya dengan konsekuensi tersendiri. Keduanya akan ditampakan pada satu waktu dengan lembaran lembaran yang dibentangkan dalam skala yang mahahalus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H