Kenangan lama tentang apa itu desa mungkin telah hilang. Anak anak telah tumbuh di kota. Bernafas dari kota. Lahir di bawah lampu kota. Di atas meja operasi caesar.
Kota bisa mengejawantahkan pikiran dan mimpi. Atau harapan yang liar serta keberanian. Dan perasaan (kemanusiaan) diisi di antara itu.
Mungkin desa menyimpan semua kenangan perasaan dan kerjasama dan persaudaraan. Kita bisa dengan bebas mengambil garam di dapur tetangga atau memetik daun pepaya muda.
Kota, mungkin sesak oleh persaingan. Sesuai bangunan nilai yang mengisi otak otak orang kota. Kota telah tergambar sebagai wilayah yang penuh bayang bayang. Tergantung sosok sosok yang membawa bayang itu. Kota bisa menjadi mimpi indah.
Atau kota menjadi sarang industri dan mesin perangkat keras dan lunak. Kota kota yang memproduksi kekerdilan diri dan pencarian yang kering.
Saat kita menoleh ke desa. Semua hamparan, dan hakikat kedirian yang asri memang tumbuh dari sana. Murni tanpa sintesis yang rumit.
Kini yang menjadi berat. Bahwa keduanya mungkin dengan kegelisahan yang sama. Keduaya membangun watak budaya: Perubahan dan pergeseran nilai yang begitu lincah dan cepat. Yang tak sempat kita cerna.
Pilihan pilihan begitu padat di layar mata. Kecuali bila selalu terlatih berfikir jernih dan jujur. Kita mesti memiliki sumber nilai dan daya hidup, kata Rendra.
Kota akan menjadi dirinya dan desa pun akan begitu (dengan konsekuensi ruangnya yang terus menyusut).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H