Saya menyebutnya tokoh setiap zaman. Itulah Markesot. Ia hanya tokoh imajiner dalam esai esai Emha (Cak Nun) yang populer hampir tiga dekade ke belakang. Utuk edisi terkini sudah muncul judul Buku Siapa Sebenarnya Markesot? (2019, Mizan dan Bentang).
Para penyuka esai emha dan pendekatan kultural emha pastilah tak melewatkan si Markesot. Tepatnya Buku Markesot Bertutur.
Kadang saya mengira bahwa Markesot itu adalah Cak Nun sendiri. Representatif dirinya. Walau tentu ia juga mungkin tidak ingin disebut begitu.
Istilah lainnya, Markesot adalah bagian dari sistem harmoni tata kehidupan dan daya sosial kita. Ia menampilkan watak orang kita (Indonesia dengan simbolisme Perwayangan Jawa) yang apa adanya dan menyerap semua daya konsep pembangunan.
Markesot selalu memaknai setiap peristiwa sosialnya dan melihatnya sebagai suatu bentuk eksistensi kekhalifahan diri di buka bumi.
Maka nilai nilai idealisme Markesot dalam jejak esai Cak Nun tadi masih sekalu relevan. Walaupun figur imajiner Markesot dan karakternya sudah old, namun kenyataan dan kepahitan sosial kita masih sama. Gaya dan politik - ekonomi kita masih sama.
Artinya dalam kaca mata kebudayaan Markesot, kepemimpinan pembangunan kita tidak setimbang dan tidak bergerak maju. Tidak memberikan radius perubahan yang menguatkan posisi (warga) Indonesia di mata dunia.
Sehingga moda figur Markesot agaknya akan menjadi suatu tarikat (Cak Nun) untuk mencapai keotentikan kita dan bagaimana kita terus berproses mencari kebenaran dengan rindu dan khusuk.
Maka selanjutnya pengejawantahan dunia Markesot itu sekarang sedang dimobilisir (tanpa dimobilisir istilah Emha) dalam progress kyai Kanjeng dan jamaah Maiyahan Emha, kenduri cinta ini mendapat penerimaan sangat tinggi di masyarakatnya, yang mencerminkan wajah multikultural Indonesia dengan sengala kenyataannya kini dan kemarin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H