Kemarin saya tersadarkan kembali tentang betapa beratnya beban belajar ananda kelas 1 di SD (swasta) berbasis Islam. Dan termasuk favorit di kota kami dengan program terintegrasi (terpadu)/fullday.
Saya menyaksikan bagaimana repotnya dia menyiapkan diri untuk ulangan bab. Kami selalu berharap agar si adek (bungsu kami) tidak kehilangan motivasi.
Yah..sepintas tidak banyak materi ujinya, hanya dua bab. Namun, setidaknya ia mesti menuntaskan materi pokok dari hal 100-125. Walau ada diberi kisi kisi, tetaplah persepsi padatnya materi tetap nyata.
Tentu persiapan ananda dibantu ibunda, juga kakaknya yang baru pulang dari ngampus di kota Banda.
Sepintas, secara kurikuler, di tradisi keluarga kami, kami telah membuat prioritas tertentu untuk kompetensi si anak.
Ada beberapa materi ajar yang boleh" diabaikan sementara,dan fokus pqda bidang yang ia minati. Ada beberapa materi yang boleh saja mereka tidak tahu/paham.
Namun kasus di atas menjadi beban pikiran, karena kelasnya sudah mengikuti program sekolah merdeka. Semestinya perihal beban ajar ini juga sudah selesai didiskusikan/disampaikan ke ortu/sudah disiasati oleh sekolahnya. Sehingga pihak sekolah dan ortu bisa saling memahami dan memberi suport.
Kasus di atas sekaligus menjadi bagian kecil dari gunung es problem pembelajaran di sekolah kita dan prioritasnya bagi perkembangan belajar siswa.
Apa lagi bila dikaitkan dengan pembelajaran diferensiasi, tentu kejadian di atas bertolak belakang, karena capaian dan evaluasi siswa disamakan semua.
Padahal sejatinya, memang berbeda antarsiswa, baik dari segi waktu dan penguasaan materi serta penerapannya.
Untuk itu bagi kami selaku ortu dan sekaligus mengampu materi ajar di sekolah, sangat penting menyusun suatu prioritas kompetensi satuan sekolah, dan menyesuaikannya dengan perbedaan minat siswa serta seberapa waktu yang diperlukan.