Mata mata peluru pernah membakar kota di siang yang gersang, juga di perkampungan yang tak hujan.
Mata mata jinak warga dalam ketakutan, risau dan seakan hilang harapan. Sepotong waktu yang hitam, menatap galau ke masa depan untuk Aceh yang tenteram.
Jam malam,darurat militer, swiping, pemeriksaan dan konon" bisnis konflik yang membuka ruang kemungkinan. Ada trauma dan dendam yang mungkin belum selesai di meja perundingan.
Mata mata peluru itu seakan kini menjadi mata pemburu dalam jeda yang panjang untuk pembuktian, antara falsafah, nilai-tawar, komitmen dan maslahah.
Hutan hutan telah gundul. Sungai sungai membawa serapah. Dan laut menyimpan sumpah.
Mata mata jinak sang awam, tengadah ke awan, menunggu hujan kesuburan di atas tanah para wali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H